Oleh: Puri Ratna
Awal tahun 2014 lalu masyarakat Indonesia sempat dikejutkan dengan pemberitaan kasus pelecehan seksual terhadap sejumlah siswa Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh salah seorang guru yang berkewarganegaraan Kanada (NB). Setelah melewati persidangan yang terbilang lama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memvonis NB dengan hukuman penjara selama 10 tahun pada April 2015. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan terdakwa tersebut pada Agustus 2015. Atas putusan banding tersebut, jaksa mengajukan kasasi ke MA dan akhirnya majelis kasasi menambah hukumannya menjadi 11 tahun penjara. Vonis MA itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut kedua pengajar JIS tersebut dihukum 12 tahun penjara (kompas.com, 12/07/19). Kabag Humas Ditjen Permasyarakatan Ade Kusmanto menyatakan bahwa terdakwa NB sudah bebas dari Lapas kelas 1 Cipinang tanggal 21 Juni 2019. NB dibebaskan karena mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13/G tahun 2019 tanggal 19 juni 2019. Kepres tersebut memutuskan berupa pengurangan pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp 100 juta. Ade juga menambahkan bahwa dendanya pun juga sudah dibayar.
Atas grasi yang diberikan Jokowi tersebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat menyesalkan. Anggota KPAI Putu Elvina mengatakan grasi Jokowi menjadi lembaran hitam terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Putu menyebut kasus pelecehan seksual siswa JIS itu menjadi komitmen pemerintah memberi perlindungan kepada anak-anak (CNN Indonesia, 13/07/19). Menguatkan pernyataan rekannya, Jasra Putra salah satu anggota KPAI yang lain mengatakan bahwa pemberian grasi oleh Jokowi tak sejalan dengan semangat penegakan hukum yang maksimal bagi pelaku pelecehan seksual anak. Apalagi Presiden pada 2016 mengeluarkan Perpu tentang kebiri dan diundangkan melalui UU 17 Tahun 2016 revisi kedua UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," (detik.news.com, 13/7/2019).
Pemberian grasi terhadap pelaku pedofili adalah bukti bahwa negara lemah dan tidak serius dalam menghadapi pelaku kriminalitas terutama yang berasal dari kewarganegaran asing. Sebagaimana yang dilansir dalam (news.detik.com,15/07/19) alasan Jokowi memberikan grasi pada pelaku adalah karena kemanusiaan. Hal ini tentu saja mengakibatkan kasus pedofilia terus marak di tengah-tengah masyarakat. Ketidaktegasan hukum serta lembeknya penguasa dalam memberikan sanksi pada pelaku kehajatan menjadi celah bagi pelaku pedofili untuk terus melancarkan aksi tidak manusiawinya.
Padahal kejahatan pedofili faktanya merupakan penyakit menular yang membahayakan moral dan kualitas generasi masa depan. Bagaimana tidak, pedofil atau kekerasan seksual terhadap anak-anak tidak saja membahayakan jiwa sang korban, namun juga bisa merusak masa depannya karena dapat berpengaruh terhadap kepribadian korban. Korban tidak semata mengalami kekerasan secara fisik, namun yang justru lebih serius dan berbahaya adalah kemungkinan berubahnya kejiwaan korban karena tidak mampu menghapus trauma bahkan tak jarang disertai hasrat membalas dendam. Ihshan Gumilar, peneliti dan dosen Psikologi Pengambilan Keputusan menjelaskan bahwa kejahatan seksual pada anak berawal dari korban (abused) pelecehan seksual di masa kecil, lalu tumbuh dewasa jadi orang yang memakan korban (abuser). Orang yang jadi korban pelecehan seks saat kecil, saat dewasa akan berpikir melampiaskan seks dapat dilakukan pada anak kecil (voa-islam.com, 19/05/14). Inilah yang disebut dengan siklus pedofilia atau abused-abuser cycle yang menyebabkan kasus kejahatan pedofilia akan terus berlanjut sebagaimana penyakit menular di tengah masyarakat.
Kejahatan pedofilia merupakan buah dari diberlakukannya sistem sekuler-liberal yang rusak. Islam memandang tindak kejahatan pedofilia adalah sebuah kriminalitas yang pelakunya layak mendapatkan hukuman yang tegas. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamju mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS al-Isra’: 32).
Dan firmanNya:
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan istri. Sebenarnya kamu adalah kaum yang berlebihan”. (QS al-A'raf: 80-81).
Penanganan tindak pedofilia semestinya dilakukan dari dua sisi; preventif dan kuratif. Tanpa upaya pencegahan (preventif), apapun langkah kuratif yang dilakukan, semisal menjatuhkan sanksi hukum yang berat seperti memberikan suntikan hormone yang kerap disebut sebagai kebiri kimiawi, tidak akan pernah efektif. Hanya Islam, sistem yang punya visi penyelamatan generasi dengan menerapkan hukum-hukum pencegahan dini.
Syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri masyarakat. Negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Negara akan menjamin rasa aman dan nyaman warga negaranya dengan menghilangkan semua penyebab penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Negara akan menjamin tersedianya kebutuhan dasar manusia dan menjaga kehormatan umat manusia.
Dari sisi kuratif, syariah Islam memberlakukan hukum cambuk dan rajam bagi pelaku perzinaan. Allah SWT berfirman:
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah Swt., jika kamu beriman kepada Allah Swt. dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (QS an-Nur: 2).
Dalam pandangan Islam, perzinaan termasuk kejahatan pedofilia merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikategorikan hukuman ḥudud, yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah Swt. Tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan zina tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Q.S. an-Nμr/24:2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum dera (dicambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhsan (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadis Nabi SAW maka diterapkan hukuman rajam. Pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh sebagian masyarakat. Hal ini bertujuan memberikan efek jera sehingga mencegah terjadinya tindak kriminal yang baru atau jawazir. Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum qishash, maka qishash tersebut akan mencegah terjadinya tindakakan balas dendam kepada keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku. Allah swt berfirman :
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”(QS. al-Baqarah: 179).
Walhasil, penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual termasuk pedofilia dan sodomi. Selain itu sistem Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua hal tersebut. Marilah kita kembali kepada aturan Allah Pencipta Alam dengan syariat Islam, kemudian mencampakkkan hukum sekularisme liberal yang jelas-jelas sudah merusak kehormatan, keamanan, dan ketenangan masyarakat dan seluruh warga negara. Dengan sistem Islam, kehidupan yang penuh rahmat akan dapat terwujud. Allah SWT berfirman:
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya: 107).