Pajak, Riwayatmu Kini



Oleh Lulu Nugroho*


Muncul wacana baru bahwa kantong kresek kena cukai. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sebesar Rp 200 per lembar untuk kantong plastik yang tidak bisa didaur ulang atau kantong plastik berbasis petroleum.Dengan pengenaan cukai ini harga kantong plastik menjadi Rp450 hingga Rp500 per lembar. 


Tidak hanya kantong kresek, ternyata mpek-mpek dan nasi bungkuspun akan dikenakan pajak. (eramuslim.com, 8/7/2019). Kebijakan baru yang diambil pemerintah, serta merta menjadi perbincangan di tengah umat. Betapa tidak, segala yang ada di dekat umat, akhirnya terkena cukai, dan itu jelas membebani.


Di era pra kolonial yaitu sebelum masuknya Belanda, pajak dikenal dengan istilah upeti. Upeti dipungut oleh raja untuk kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya. Seperti untuk membangun istana atau membiayai rumah tangga kerajaan. Jenis pajak yang diberlakukan di era ini misalnya pajak tol dan pajak candu.


Di Indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk natura (payment in kind), kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya, terutama sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan pemerintahan kolonial Belanda.


Gubernur Jenderal VOC JP Coen memungut pajak. Dia mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapitan Cina. Pada 9 Oktober 1619 ia membuat peraturan, bahwa tiap orang Cina yang berumur antara 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak sebesar 1,5 reak per kepala. Pajak yang memberatkan itu berlaku 200 tahun, sampai 1900.


Pajak pernah berjaya masa penjajahan Belanda. Dahulu ada pajak kepala, judi dan rumah pelacuran (suhian), juga pajak kuku panjang dan pemotongan babi. Kalau sekarang pembayar pajak diingatkan melalui surat, dahulu di kediaman Kapiten Cina dipasang bendera, mengingatkan agar masyarakatnya segera membayar pajak. Sampai sekarang di Jakarta Kota terdapat Kampung Tiang Bendera.


Di Mesir, pembuatan piramida yang tadinya merupakan pengabdian dan bersifat suka rela dari rakyat Mesir, pada akhirnya menjadi paksaan. Bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi juga dalam bentuk kerja paksa. Dan ini juga termasuk pajak.


Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan. Di daerah lain di Italia dikenal decumae, yakni pungutan sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah.


Sedangkan di zaman Romawi. Pada awal Republik Roma (509-27 sebelum Masehi) dikenal beberapa jenis pungutan pajak seperti censor, questor dan beberapa jenis pungutan lain. Pada abad ke XIV di Spanyol dikenal alcabala, salah satu bentuk pajak penjualan.


Bagaimana dengan Islam? Allah Subhaanahu wa ta'ala melarang penguasa mewajibkan pajak terhadap kaum muslim. Sekalipun Islam datang sejak berabad lalu, namun umat tidak dibebani dengan pajak. Rasul saw bersabda:

«لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ»


“Tidak masuk surga orang yang menarik maksun-cukai/pajak-” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh az-Zain dan al-Hakim)


Akan tetapi jika tidak ada harta di Baitul Mal atau habis atau tidak mencukupi, maka Khalifah berwenang mewajibkan pajak terhadap orang-orang kaya sesuai kadar kebutuhan itu menurut hukum syara’. Misalnya untuk pembelanjaan orang-orang fakir, untuk keperluan jihad, pembangunan infra struktur utama yang jika tidak dilakukan akan mengakibatkan dharar.


Pajak pun ditarik hanya dari warga muslim yang kaya. Setelah dikurangi dari kebutuhan sekunder anak, isteri dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Kelebihannya itulah yang ditarik pajak. Dan di sisi Allah, hal tersebut merupakan infaq.


Pemasukan Baitul Mal adalah: fay`i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah. Demikian juga pemasukan kepemilikan umum dengan berbagai jenisnya, pemasukan kepemilikan negara, usyur, khumus rikaz, barang tambang, harta zakat. Sehingga kecil kemungkinannya Baitul Mal kehabisan harta.


Terbukti pemikiran Islam melampaui pemikiran manapun. Seharusnya negeri dengan mayoritas muslim ini, mengambil aturan Allah untuk mengelola pemerintahan. Memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dan mengalokasikannya pada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Bukan menarik pajak seperti negeri-negeri terdahulu.


Inilah keindahan Islam, rakyat tidak dibebani pajak. Penguasa dengan keimanan yang tinggi, takut terhadap Allah. Hal inilah yang akan terus mendorong mereka untuk menjaga hak rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Wallahu 'alam.



*Muslimah Penulis dari Cirebon

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak