Oleh : Yuliani N
Pajak kembali membuat gelisah rakyat. Semua rakyat akhirnya akan menjadi sasaran pajak dari negara. Sebagaimana dilansir dalam Prokal.co (13/06/2019), bahwa Pemprov Kalsel berencana memungut pajak penggunaan air permukaan di segala sektor, seperti perikanan, perkebunan dan peternakan.
Untuk sektor perikanan, bagi para petambak ikan di sungai, danau maupun irigasi harus siap-siap untuk menyisihkan uang guna membayar pajak. Pemprov Kalsel melalui Badan Keuangan Daerah (BPK) berencana akan membentuk tim untuk mengawal pemungutan pajak dari para petambak ikan. Tim bertugas mendata para petambak ikan dan mengatur perizinan penggunaan air permukaan. Para petambak harus punya izin penggunaan air permukaan. Izin tersebut bisa didapatkan oleh petambak jika mereka menunaikan dalam hal pembayaran pajak.
Ini tentu saja memberatkan rakyat dan sebagai bukti bahwa negara telah dikuasai oleh kapitalisme. Mereka akan selalu menghisap kaum yang lemah saat mereka berkuasa.
===
Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, salah satu sumber utama pembiayaan negara yang terdapat dalam APBN adalah pajak. Pajak menjadi salah satu pos pemasukan negara yang dibebankan kepada warga negara dalam berbagai bentuk. Untuk tahun 2019 ini, target pendapatan negara dari pos pajak yang tercantum dalam APBN adalah Rp2.165.1 trilliun, dimana penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp.1,786,4 trilliun.
Penetapan pajak di segala lini masyarakat pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari pengadopsian sistem kapitalisme di negeri ini. Penarikan pajak diterapkan nyaris di setiap transaksi ekonomi dan harta kepemilikan rakyat. Pajak yang ditarik secara rutin ini dilaksanakan dengan tujuan untuk pembangunan nasional serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan warga negara. Tak berlebihan jika ada yang berpendapat bahwa peraturan mengenai pajak dalam sistem kapitalisme merupakan sebentuk pemalakan yang dilegalkan pemerintah.
===
Berbeda konsep pajak dalam sistem Islam. Perpajakan (dharibah) diberlakukan pada kekayaan bukan penghasilan. Perbedaan sistem perpajakan antara Islam dan sistem kapitalisme setidaknya terlihat dalam beberapa hal yakni:
Pertama, praktik pajak dalam Islam sifatnya temporer, hanya ditarik sewaktu-waktu jika kondisi genting dimana kas negara (baitul mal) kosong atau kurang. Jika kondisi negara stabil, maka pemungutan pajak dihentikan. Ini sangat berbeda dengan praktik pajak saat ini. Pajak dipungut secara terus menerus, tanpa memperdulikan situasi dan kondisi yang ada.
Kedua, dalam perspektif Islam pajak hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan dan tidak boleh lebih. Pembiayaan itu misalnya pembiayaan jihad dan yang berkaitan dengannya, seperti industri militer, pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir miskin, pembiayaan untuk pengadaan fasilitas umum yang menyangkut kemaslahatan orang banyak, dan pembiyaan untuk penanggulangan bencana.
Ketiga, dharibah (pajak) dalam Islam hanya dipungut dari kaum muslimin dan tidak dipungut dari nonmuslim. Karena pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban nonmuslim.
Keempat, pajak dalam Islam hanya dipungut dari kaum Muslimin yang tergolong kaya (Ghinaa) dan tidak dipungut selain dari itu. Parameter kaya dalam Islam adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat di suatu wilayah.
Berdasarkan hal ini, sesungguhnya pajak dalam Islam memiliki landasan khas. Allah subhanahu wa ta'ala memberikan hak kepada negara untuk mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan dari kaum Muslim. Jika terjadi kondisi kekosongan harta pada baitul mal, negara mewajibkan kaum Muslim untuk membayar pajak hanya untuk menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, sebatas kekurangannya saja hingga terpenuhi. Kewajiban membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf.
===
Jelaslah, bahwa pos pendapatan dalam Islam bisa salah satunya dari pajak. Tetapi ada syarat dan ketentuan yang berlaku sesuai pengaturan syariat. Bukan seperti realita yang ada saat ini. Semua SDA diobral, tapi mengeruk pajak dari rakyat. Akibatnya rakyat melarat dan kian terjerat. Saatnya umat Islam harus bangkit dan mengubah keadaan untuk kembali pada Islam. Wallahu a’lam.