Oleh: Sumiati (Praktisi Pendidikan dan Member AMK )
Kabar terbaru yang membuat kita tercengang, betapa tidak, nasi bungkus, materai, pempek akan di kenai pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkan rencanaan pengenaan cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ia pun optimis penerapan cukai kantong plastik bisa dilakukan tahun ini.
"Kita lihat aja tadi yang disampaikan oleh dewan Komisi XI akan melalukan pendalaman. Tapi, Insya Allah tahun ini, kita optimis," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, payung hukum penerapan cukai plastik ini akan dirilis dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pemungutannya dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Kalau nanti komisi 11 menyetujui produknya adalah PP dan tentunya operasionalnya PMK. PP-nya mengenai itu barang kena cukai baru dalam bentuk plastik. Kalau PMK nya ini masalah teknis," jelas Heru.
Dalam PMK nanti akan dijelaskan rincian mengenai tarif untuk masing-masing objek. Misalnya, jika plastik tersebut ramah lingkungan maka bisa tidak dikenakan cukai. Sedangkan plastik yang tidak ramah lingkungan dikenakan 100%. Ini akan dibahas dalam rapat selanjutnya bersama anggota dewan.
"Pemerintah sampai dengan tadi telah mengusulkan barang kena cukai baru dalam bentuk kantong plastik. Tetapi tadi komisi XI menyampaikan untuk memperluas dengan seluruh plastik sebagai barang kena cukai baru."
Sebagai informasi, Pemerintah mengusulkan tarif cukai plastik sebesar Rp30.000 per kilogram dan Rp200 per lembar. Setelah dikenakan cukai maka nantinya harga jual kantong plastik menjadi Rp450-Rp500 per lembar.
Sungguh ironis, negara kaya raya, sumber daya alam melimpah ruah, namun diserahkan pengelolaannya kepada asing. Rakyat sendiri ibarat tikus mati di lumbung padi. Kekayaan di nikmati oleh mereka kaum imperialis.
Anehnya di negeri ini, kekayaan di serahkan asing, untuk memenuhi kebutuhan negara memalak rakyat. Bukan hanya pengusaha besar yang di mintai pajak, kini pedagang kecil sekelas warteg pun di pungut pajak.
Pemalakan yang sistematis dan terstruktur, hingga hak orang kecil pun tak luput dari kebijakan dzalim. Bayangkan saja, keuntungan yang tak seberapa, harus di potong dengan pajak yang rakus.
Untung tinggal lamunan, yang ada buntung, kondisi demikian membuktikan betapa pemerintah tidak mengetahui sesungguhnya yang dirasakan rakyatnya. Kebijakan demi kebijakan selalu menambah lelah dan menambah masalah baru.
Betapa paradigma kepemimpinan kapitalistik yang gagal mengurus sumber daya alam, dan tidak menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan, tetapi sebagai ajang mencari keuntungan demi kenikmatan sendiri.
Bagaimana dengan sistem Islam?
Di era kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, sumber pendapatan negara sangat erat hubungannya dengan stratifikasi masyarakat, sebagai: (1) Muslim, (2) dzimmi, (3) musta’man, (4) mu’ahad dan (5) harby. Stratifikasi ini terbentuk sebagai konsekuensi logis dari upaya perluasan wilayah koloni Islam dan masuk dalam bagian yang dikuasai oleh kekhalifahan kala itu. Hikmah dari perluasan dan pendudukan wilayah ini adalah berjalannya sistem manajemen keuangan dan publik.
Luasnya wilayah di bawah kekuasaan kekhalifahan secara umum juga dibagi menjadi dua, yaitu: (1) wilayah yang masuk dalam wilayah Arab dan (2) wilayah non-Arab yang menjadi koloni. Untuk wilayah Arab, baik berlaku untuk wilayah yang awalnya ditundukan dengan jalan peperangan pada masa Rasulullah saw maupun yang didapatkan lewat jalan damai, maka semua tanah ini seluruhnya menjadi tanah usyur. Besaran ‘usyur untuk wilayah ini sudah ditetapkan sendiri oleh Rasulullah SAW yaitu sebesar 10 persen untuk lahan tadah hujan dan 5 persen untuk lahan yang menggunakan irigasi artifisial (daulaby). Rasullah melarang pungutan lain diterapkan pada penduduk wilayah ini, termasuk menjadikan tanahnya sebagai tanah al-kharaj (Muhammad Nejatullah Siddiqi, Al-fiqri al-Iqtisad li Abi Yusuf, Journal of Research Islamic Economics, Vol 2, 1984-85, 710.
Karena tanah yang berada di wilayah Arab ini sudah mendapatkan ketetapan langsung dari Rasulullah SAW, maka baik pada masa pemerintahan Daulah Umayyah maupun Daulah Abbasiyah, keduanya tidak diotak-atik lagi ketetapannya. Walhasil, antara kharaj dan usyur adalah tidak ada perbedaan, hanya faktor status pemilik dan kelas tanah saja yang membedakan. Wilayah Arab yang memiliki aturan dan perlakuan istimewa dari kedua dinasti ini antara lain Madinah, Bahran, Badiyah, Yaman, Makkah dan Hijaz yang mana mayoritas penduduknya telah memeluk Islam di masa Rasulullah SAW.
Setelah Islam menguasai wilayah non-Arab, maka berlaku ijtihad baru. Ijtihad pertama kali diawali pada periode kekhalifahan Umar ibn Khathab radliyallahu ‘anh. Kebijakan ini terekam dengan baik dalam sebuah riwayat:
عن حبيب بن ٲ بي ثا بت قال: ان أ صحا ب رسول الله صلي الله عليه و سلم و جما عة من المسلمين ٲ رادوا عمر بن الخظا ب رضي الله عنه أن يقسم الشا م كما قسم رسو ل اهلو صلي الله عليه و سلم خيبر, و ٲنه كان أشد الناس في ذالك الزبير بن عوام و بلال ابن رباح. فقال عمر بن الخظاب رضي الله عنه: اذن ٲترك من بعدكم من المسلمين لاشئ لهم. اللهم اكفني بلال و أصحابه
Artinya: “Habib ibn Abî Tsâbit berkata: Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW dan sekumpulan kaum Muslim menghendaki agar Umar bin Khathab radliyallahu ‘anh membagi tanah Syam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tanah Khaibar. Dan sesungguhnya pihak yang paling menentang keras kebijakan Umar adalah al-Zubair ibn Awâm dan Bilâl ibn Rabâh. Maka dari itu, Umar ibn Khathâb berkata: ‘Jika aku melakukan hal itu, maka aku akan meninggalkan kaum Muslim setelah kalian sebagai pihak yang tidak memiliki apa-apa. Ya Allah, jagalah aku dari Bilâl dan kawan-kawannya’.” [Muhammad Akram Khan, Glosarry of Islamic Economics, London dan New York: Mansell, 1990. 26].
Riwayat di atas juga terekam dengan baik dalam sebuah kitab karya Ibn ‘Asâkir Abû al-Qâsim ‘Alî ibn Al-Hasan al-Syâfi’i, Târikh Madînah Damasqy, Juz 2 (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1995 halaman 197-198). Di dalam kitab terakhir ini, termasuk sahabat lain yang juga turut menentang kebijakan Umar ini adalah sahabat Mu’adz ibn Jabal. Inti utama riwayat tersebut adalah bercerita tentang kharaj pasca-ditundukkannya Syam sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Islam.
Pada masa Rasulullah SAW, tanah Khaibar memang tidak dibagikan semua kepada umat Islam. Saat itu, Rasulullah mengambil kebijakan bahwa orang Yahudi Khaibar boleh kembali ke tanah milik mereka sendiri dengan syarat mau membayar separuh dari hasil panennya kepada pemerintah Islam di Madinah (Lihat: Ibn Rajab, al-Istikhrâj li Ahkâm al-Kharâj, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985: 33-34).
Pada masa kekhalifahan Umar, ada wilayah yang ditundukkan oleh pemerintahan Islam melalui jalur perang, dan ada pula wilayah yang ditundukkan dengan jalur damai. Tanah yang berasal dari jalan peperangan disebut sebagai tanah unwah. Sementara itu, tanah yang berasal dari jalur damai, disebut dengan tanah sawad. Sebenarnya istilah sawad ini mengacu pada sebuah wilayah yang berada di sebelah selatan Irak. Sawad sendiri berarti tanah hitam, yang merupakan salah satu ciri tanah aluvial yang subur. Suburnya tanah ini disebabkan ia terletak di sebuah pegunungan sehingga merupakan keadaan yang kontras dengan gurun. Wilayah ini menjadi bagian wilayah kekuasaan pemerintah Islam yang didapat dengan jalur damai.
Di masa kekhalifahan Umar, terbit kebijakan dengan jalan tidak membagi tanah “sawad” (rampasan) kepada pasukan kaum Muslimin. Tanah tersebut sepenuhnya diserahkan kembali kepada pemilik asalnya. Namun, kepada mereka dibebankan kewajiban membayar usyur. Sementara itu, khalifah Umar hanya membagi tanah kepada kaum Muslimin untuk wilayah yang diperoleh dari jalur perang (unwah) serta memberlakukan kharaj pada tanah tersebut yang dipungut setiap tahunnya dengan besaran yang ditetapkan oleh pemerintah. Perbedaan kebijakan yang diberlakukan antara tanah ‘unwah dan tanah sawad inilah yang mengundang kontroversi kala itu dan mengundang perdebatan di kalangan sahabat bahkan menimbulkan pertentangan selama beberapa waktu lamanya. (Lihat: Ibn ‘Asâkir Abû al-Qâsim ‘Alî ibn Al-Hasan al-Syâfi’i, Târikh Madînah Damasqy, Juz 2, Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1995 halaman 197-198).
Di Iraq, kebijakan Umar ini terus berlangsung dan dijaga sampai dengan masa Daulah Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah al-Manshûr yang menerapkan sistem muqâsamah (bagi hasil) terhadap tanah yang diberlakukan sistem al-kharaj. Kebijakan ini diambil karena ada sebab yaitu telah terjadi penurunan tingkat harga dan rusaknya kualitas tanah sehingga hasil bumi tidak lagi mencukupi guna membayar kharaj-nya. Sistem muqâsamah ini dalam sistem perpajakan modern dikenal dengan istilah sistem pajak tetap (fixed taxation). Khalifah al-Mahdi selaku pengganti al-Manshûr memiliki kebijakan meneruskan pendahulunya dengan menetapkan kharaj sebesar 1/3 hasil untuk tanah yang diairi irigasi dan ¼ bagi tanah yang diairi dengan irigasi artifisial.
Jadi, secara umum pada masa Umar ini telah berlaku tiga klasifikasi tanah dan sistem perpajakannya, yaitu:
1. Wilayah yang sudah masuk Islam sejak masa Rasulullah SAW. Kepada tanah ini berlaku al-‘usyur.
2. Wilayah yang ditaklukkan melalui jalan perang. Tanah yang berada di wilayah ini disebut tanah unwah. Kepadanya diberlakukan al-kharaj dan al-usyur.
3. Wilayah yang masuk dalam kekuasaan kekhalifahan dengan jalan damai. Tanah yang berada di wilayah ini disebut sawad. Kepadanya hanya berlaku al-usyur. Sebagian pihak tidak menyebutnya sebagai al-usyur, tetapi sebagai kharaj shulhi, yaitu kharaj yang diperoleh dengan jalan damai.
Wallâhu a’lam bish shawab.
Tags
Opini