Oleh. Reni Tresnawati*
Beberapa waktu lalu Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) kota Palembang menerapkan cukai untuk nasi bungkus dan pempek. Mereka mengawasi warung-warung pempek dan beberapa rumah makan yang sudah dipasang e-tax. Tiap pembelian paket pempek, baik makan di tempat maupun dibungkus dikenakan pajak 10%. Gelora. Co (7/7/2019).
Setelah nasi bungkus dan pempek kena pajak Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), mengusulkan rencana pengenaan cukai untuk kantong plastik. Namun plastik yang ramah lingkungan tidak dikenai pajak. Akan tetapi, kantong plastik yang tidak ramah lingkungan akan dikenakan cukai 100%. Pemerintah mengusulkan tarif cukai plastik sebesar Rp30.000/kg dan Rp200/lembar. Setelah dikenai pajak maka harga jual kantong plastik menjadi Rp450 - Rp500/lembar.
Di waktu yang berbeda Sri Mulyani juga mengusulkan perubahan tarif bea materai sebesar Rp10.000, dari saat ini minimal Rp3.000 dan maksimal Rp6.000. Usulan peningkatan dan perubahan tarif bea meterai ini bergulir, karena sejak tiga dekade ini, tarif belum mengalami peningkatan.
Padahal pendapatan masyarakat Indonesia terus naik, hampir 8 kali lipat. Pada tahun 2001 PDB perkapita Indonesia telah Rp6.7 juta. Sedangkan PDB perkapita tahun 2017 adalah Rp1.9 juta. Sementara itu Data Direktorat Jenderal Pajak tahun 2001, penerimaan bea meterai Rp1.4 triliun dan tahun 2017 Rp5.08 triliun. Jadi penerimaan bea materai dari 2001 sampai 2017 hanya meningkat 3.6 kali. CNBC (3/7/2019).
Ironi sekali, di negara yang terkenal dengan gemah ripah loh jinawi ini akan sumber dayanya, masih saja penghasilan rakyat yang tidak seberapa dipalak juga. Mengatasnamakan bea cukai, secara tidak langsung rakyat sudah diperlakukan sebagai objek pemalakan terstruktur sistematis, hingga hak kecilpun tak luput dari kebijakan zalim.
Menilik kebijakan yang direncanakan penguasa, dengan memanfaatkan keberhasilan rakyatnya, dengan menghitung-hitung keuntungan penghasilan rakyat yang semakin meningkat. Ini pertanda suatu negara sudah terlihat kebobrokan paradigma kepemimpinan kapitalistik yang gagal mengurus sumber daya dan tidak menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan, tetapi sebagai ajang mencari keuntungan.
Penguasa seharusnya bisa memberi ketentraman dan kedamaian dengan mengayomi dan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Bukan malah membuat resah dengan kebijakan yang menzalimi rakyatnya.
Kepemimpinan sistem Kapitalis berbanding terbalik dengan kepemimpinan sistem dalam Islam. Di mana dalam kepemimpinan Islam tidak ada pajak untuk barang yang akan digunakan dan para pedagang. Justru penguasa atau khalifah melindungi dan meriayah seluruh rakyatnya, supaya mereka hidup tentram dan makmur. Walahu'alam bishowab.
* (Ibu dan Pemerhati Generasi)