Rekonsiliasi Demi Rebutan Kursi, Itukah Demokrasi?



Oleh  Dewi Putri Handayani, S.Pd
 (Member Penulis Ideologis)


"Jadi kalau kita kadang-kadang bersaing, kadang-kadang saling mengkritik itu tuntutan politik dan demokrasi," ujar Prabowo saat memberikan keterangan bersama Presiden Joko Widodo di stasiun MRT Senayan, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019). (Kompas.com)

“Kutu Loncat” adalah istilah yang cocok bagi para politikus dalam system demokrasi. Dimana ada kepentingan disitu ada jalan, karena tidak ada yang namanya teman sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Sungguh buruk sekali tabiat para pengusung demokrasi.  Saat dimana luka lara umat belum terobati akibat tak satupun pihak yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 600 orang anggota KPPS, saat belum satupun yang ditetapkan sebagai tersangka penembak korban 21-22 Mei, para elit itu sudah mulai berdeklarasi tentang rekonsiliasi. 

Sebagaimana yang dikutip dari CNN pada Sabtu, 13 Juli 2019 di MRT Lebak Bulus yang mengindikasikan terjadinya rekonsiliasi. Yang menjadikan luka supporter kubu 02 dari barisan umat islam semakin meradang, menerjang, merasa kecewa dan dikhianati oleh pak jendral.

Memang di dalam islam rekonsiliasi bukanlah hal yang salah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Maukah kalian aku beritahu tentang derajat yang lebih baik ketimbang derajat puasa dan shalat pada malam hari?" Mereka menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Memperbaiki kondisi di antara dua pihak." (HR Ibn Hibban).

Namun, pada faktanya rekonsiliasi yang terjadi ditengah para elit politik demokrasi bukanlah dalam rangka memperbaiki melainkan hanya berasaskan kepentingan belaka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rekonsiliasi dengan para elit politik dalam demokrasi  hanya akan selesai jika ada yang namanya berbagi kursi kekuasaan. Rekonsiliasi dalam demokrasi jelas hanya demi rebutan kursi.

Bagaimana tidak, sebagaimana yang sama-sama kita ketahui bahwa visi dan misi kubu 01 dan 02 sungguh jauh berbeda. Sebelumnya, kubu 02 mengaku akan memperjuangkan Islam. Namun faktanya tujuan dari mereka hanyalah untuk kekuasaan. Islam hanya dijadikan kuda tunggangan para pemburu kursi kekuasaan. Setelah sekian banyak pengorbanan yang diberikan oleh umat islam. mereka rela berkoalisi dengan partai anti- Islam demi mendapatkan kekuasaan.

Itu lah demokrasi, dalam percaturan politik nasionalnya tidak ada istilah demi kepentingan umat, yang ada hanyalah demi kepentingan pribadi dan partai. Semua visi bisa berubah, sesuai haluan kepentingan pribadi dan partai. Sebab, menuhankan nafsu adalah tujuan, tak peduli hati rakyat tercinta terluka atau tidak.

Dalam Islam tidak ada dan tidak akan pernah ditemukan yang namanya "Kutu Loncat", karena dalam sistem Islam tidak mengenal konsep Rulling Party (partai berkuasa). Tidak ada istilah rekonsiliasi demi rebutan kursi. Tidak ada istilah petugas partai, sekalipun Khalifah dan pejabat penting lainnya berasal dari partai tertentu namun posisi mereka sama, dan mereka wajib meninggalkan partainya ketika mereka berada dalam posisi tersebut.

Tidak ada istilah oposisi dan koalisi. Semua pihak, termasuk partai pengusung memiliki kewajiban yang sama dalam hal memantau kinerja Khalifah dan pejabatnya, memiliki kewajiban yang sama dalam melakukan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hukmi). Semua berjalan dan tunduk berdasarkan hukum Syara, baik Khalifah, para pejabat, partai politik dan masyarakat. Bukan pada asas kepentingan pribadi terlebih lagi kepentingan partai. Inilah esensi dari kedaulatan di tangan Syara. 

Sebagai seorang muslim, saatnya kita sadar bahwa taat kepada hukum Syariat merupakan sebuah konsekuensi keimanan, dan itu hanya akan bisa terlaksana secara sempurna dalam sistem Negara Khilafah yang akan menerapkan islam secara kaffah. 

Wallahu a'lam bish-shawab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak