Mungkinkah Negara tanpa Pajak?



                   Oleh:
             
               Xexa Hidayat

Pajak merupakan penopang terbesar Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Pembiayaan terbesar Negara ini berasal dari pajak, sehingga Negara sangat bergantung pada pajak untuk pembangunan dan penggajian pegawainya.
Sebut saja dari pembayaran gaji pegawai, membeli barang seperti peralatan, pembangunan infrastruktur, pemeliharaan dan lain-lain semuanya dibiayai oleh hasil dari penerimaan pajak.

Alih-alih pembangunan infrastruktur yang tidak tanggung-tanggung dilakukan pemerintah saat ini, seperti pembangunan jalan tol, light Rapid Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), Kereta Rel Listrik (KRL), juga pembangunan lainnya digadangkan-gadangkan pemerintah untuk melayani kebutuhan rakyat, mengatasi problematika kemacetan, pengefisienan waktu, sampai efisiensi biaya malah justru makin memperuncing masalah perekonomian rakyat saat ini. Bagaimana tidak, pembangunan yang dilakukan pemerintah dari dana hutang yang tidak sedikit tersebut membuat pemerintah makin massif memberlakukan pajak, bahkan menaikkan pajak guna untuk membayar hutang-hutang yang terpakai tadi.

Mulai dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan yang sampai tiga kali lipat, belakangan ini juga muncul pajak nasi bungkus bahkan sampai pajak warung empek-empek. Seriusnya wacana Pemerintah tentang pemberlakuan pajak ini tidak main-main, kini Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) kota Palembang mengawasi warung-warung empek-empek, baik makan ditempat atau bungkus dikenakan pajak 10 persen.

 Seperti yang dikutip kepala BPPD, Sulaiman Amin usai memantau pemasangan e-tax di rumah makan pindang simpang bandara,” Pendapatan mereka setiap hari kita tahu data konkritnya jadi nominal pajak yang kita terima valid,”( Gelora.co,minggu 7/7/2019) . Tapi lucunya justru pungutan pajak tidak berlaku kepada pembelian barang-barang mewah. Artinya pajak dalam Negara liberal kapitalis saat ini adalah sistem yang sangat tidak adil bagi rakyat miskin,Ironi bukan?

Melihat kondisi seperti sekarang ini, sepertinya kita sedang  mengulang sejarah yang sama. Dimana pada masa kekuasaan Romawi, yang dipimpin oleh kaisar Heraklius, berbagai macam pajak diwajibkan kepada rakyatnya. Tidak peduli apakah mereka tersiksa atau sekarat. Hidup semakin sulit, selain untuk menutupi hutang besar pembiayaan perang dengan Persia, harta yang di dapat dari pajak kepada rakyat pun dipakai untuk para penguasa bersenang-senang dengan kebutuhan jasmaninya .

 Penguasa bahagia sedangkan rakyat sengsara. Inilah bentuk kedzaliman tirani romawi saat itu. Sampai pada akhirnya ‘Emparium Bizantium’ tersebut mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya  berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan. Hal inilah yang menyebabkan keruntuhan romawi timur. Sama halnya dengan penguasa saat ini, mereka tidak berusaha mencukupi bahkan mensejahterahkan rakyatnya, tapi justru rakyatlah yang dipakai untuk mencari keuntungan sebagai tujuan utamanya.


Padahal kalau kita amati lebih mendalam, Indonesia ini Negara yang sangat kaya dengan berbagai macam Sumber Daya Alam (SDA). Mulai dari minyak bumi, batubara, emas, hasil hutan, bahkan hasil laut.Tetapi mengapa justru menjadikan rakyat  kecil sebagai sumber penghasilan (baca dari sektor pajak)? Hal ini mendorong kita untuk berfikir lebih jauh apakah penguasa saat ini telah gagal mengelola SDA dengan baik, ataukah justru sistem yang dipakai saat ini tidak bisa menyelesaikan masalah secara sistemik?

Di dalam sistem Islam SDA tidak boleh dikuasai oleh pribadi, tetapi justru negaralah yang harus mengelolanya untuk kebutuhan rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, bahkan keamanan. Pendapatan dari SDA inilah nantinya yang akan masuk ke baitul maal dan akan di distribusikan untuk kesejahteraan rakyatnya. Lalu, apakah pajak nanti tidak ada bila kita memakai sistem Islam? Pajak akan tetap diberlakukan tetapi hanya terbatas kepada kaum muslim yang benar-benar mampu bila kondisi baitul maal kosong. Mampu dalam arti mempunyai kelebihan harta setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standard hidup mereka di wilayah tersebut. Karena Islam menetapkan kepada kaum muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan ketika dana tidak ada di baitul maal, dan pengambilan pajak ini bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. Sebab jika tidak, maka akan menyebankan terjadinya dharar bagi  seluruh kaum muslim.
Karena itu, pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan apalagi untuk pembayaran hutang Negara. Karena justru Negara lah yang akan membiayai seluruh rakyat termasuk orang non muslim yang diambil dananya dari baitul maal, yang sumber dananya selain dari pendapatan SDA juga dari ghanimah, jizyaz, kharaj, usyur, harta haram pejabat dan pegawai, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris  dan juga harta orang yang murtad. Jadi, solusi dalam Islam itu tidak cuma bersifat parsial tapi justru memberikan solusi yang sistemik lagi membangun.

 Jadi pajak hanya dipungut bila baitul maal kosong. Tetapi, bila sumber dana diatas mencukupi kebutuhan seluruh rakyat maka pajak tidak wajib untuk dipungut. Hanya sistem Islam ini lah yang  bersumber dari ALLAh SWT dan pernah dipakai oleh Rasulullah dalam memimpin Negara juga dipraktekkan oleh para sahabat dan terbukti bisa memakmurkan dan memberikan keadilan kepada seluruh rakyat baik itu muslim maupun non muslim. Wa’allahualam bi shawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak