Miris! Nasib Guru Honorer Di Bawah Sistem Kapitalis



Oleh: Erna Ummu Azizah


Dunia pendidikan kembali digemparkan dengan pemberitaan nasib seorang guru honorer di Pandeglang.


Selama dua tahun terakhir, Guru Honorer SDN Karya Buana 3, Nining (44), terpaksa tinggal di toilet sekolahnya di Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten. Nining terpaksa tinggal seatap dengan toilet sekolah setelah rumah pribadinya yang hanya sekadar bilik roboh. (Viva, 15 Juli 2019)


Dan yang lebih menyedihkannya lagi, pendapatan Nining hanya Rp 350 ribu per bulan sebagai guru honorer, itupun cair tiga bulan sekali. Padahal sudah mengabdi sebagai guru selama 15 tahun. Miris!


Dengan gaji yang hanya sebesar itu, mana cukup untuk menyewa rumah. Bahkan, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja masih kurang. Sementara, suaminya hanya bekerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu.


Tak habis pikir, bagaimana bisa seorang guru yang merupakan tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan generasi di lingkungan sekolah dibayar rendah, bahkan sangat amat murah?


Lantas, bagaimana bisa meningkatkan mutu sumber daya manusia, jika profesi guru tak ada harganya. Tak heran, jika akhirnya banyak para guru yang mencari sampingan di sela-sela kewajiban demi mencari tambahan. Dan hal itu jelas membuat para guru akhirnya tak fokus dalam pengajaran.


Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa di balik kewajiban dalam mengajar, haknya pun sebagai seorang guru harus dipenuhi, dan tentunya dengan pemenuhan yang layak dan manusiawi, mengingat amanah yang diembannya pun begitu besar dalam meningkatkan intelektualitas generasi mendatang.


Tak dipungkiri, inilah efek sistem kapitalis demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Guru yang sejatinya merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, jarang dihargai. Bandingkan dengan para artis yang kebanyakan merusak akhlak dan moral generasi, justru dibayar tinggi.


Dalam Islam, guru mendapat posisi dan perlakuan mulia. Karena posisi sebagai orang berilmu dan mengajarkan ilmu. Serta karena posisi strategisnya sebagai salah satu pilar pencetak generasi cemerlang.


Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak.


Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar= 4,25 gram emas). Jika harga 1 gram emas Rp 500 ribu, berarti sekitar Rp 30 juta. MasyaAllah. Dan, tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.


Inilah negeri yang diatur dengan sistem Islam. Bukan hanya rakyat yang sejahtera. Namun guru pun sejahtera. Dan ini berpengaruh untuk menghasilkan generasi emas bagi sebuah negara maju yang menguasai dunia. Sebab pendidikan dipandang sebagai sebuah investasi. Mencetak pemimpin peradaban mulia, demi kebangkitan umat.


Bandingkan dengan kondisi saat ini. Bukan hanya kualitas pendidikan yang kurang, tapi juga kondisi guru yang memprihatinkan. Oleh karena itu kembali pada kejayaan Islam dengan mengembannya sebagai suatu sistem kehidupan, tidak bisa ditunda lagi. Semoga bisa segera terwujud. Aamiin Ya Robbal 'aalamiin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak