Oleh: Rahmi, S.Si (Member Penulis Ideologis)
Kemuliaan seorang muslim adalah ketika menjadikan Islam sebagai tolak ukur kehidupan. Jika setiap orang berusaha terikat dengan hukum syara', niscaya mereka menjadi mulia dan kemungkinan timbulnya konflik dapat diminimalisir.
Mendudukkan dan mengidentifikasi 'masalah'
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, masalah diartikan sebagai sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan). Sederhananya, sesuatu menjadi masalah ketika situasi dan kondisi yang diharapkan bertentangan dengan realita. Ujian dan musibah, baik yang telah maupun sedang berlangsung juga dapat menjadi masalah.
Mirisnya, dalam alam kapitalis, manusia terbiasa berpikir faktais. Segala sesuatu dihukumi berdasarkan fakta. Sesuatu yang asalnya bukanlah masalah dibesar-besarkan seolah hal tersebut adalah dosa yang tak termaafkan. Sebaliknya, jika sesuatu tersebut 'terlihat' menguntungkan, meskipun dicela oleh syara', tidak dipandang buruk sebagai masalah yang harus mendapatkan penyelesaian sesegera mungkin.
Kebanyakan manusia menganggap masalah terhadap apa yang ia benci. Padanya disematkan predikat 'buruk'. Lain halnya ketika manusia dihadapkan pada sesuatu yang disenangi dan dirasakan langsung kemanfaatannya. Padanya disematkan predikat 'baik'.
Diskursus penempatan 'masalah' inilah yang sering dijumpai dalam potret keluarga muslim. Banyak orangtua yang menganggap sepele perbuatan anak-anak mereka yang bermudah-mudahan dengan nonmahram. Padahal hakikatnya tindakan tersebut adalah salah satu pintu gerbang menuju perzinaan. Maraknya zina dan adalah 'masalah' dalam Islam. Sehingga Islam memberikan solusi untuk mengharamkan setiap tindakan yang mengarah kepada zina.
Meninggalkan shalat dan puasa adalah masalah besar dalam kacamata syara'. Tetapi hari ini kita saksikan seorang anak begitu ringan meninggalkan shalat lima waktu. Mereka tidaklah mendatangi masjid kecuali untuk melaksanakan ibadah shalat Jum'at dan shalat Id. Bahkan kebanyakan orangtua lebih khawatir jika anak-anak mereka terlambat ke sekolah ketimbang terlambat bangun subuh.
Agar keluarga keluar dari 'masalah'
Sejatinya, setiap pelanggaran hukum syara', sekecil apapun adalah masalah dalam Islam. Oleh karena itu Islam memiliki solusi kuratif juga preventif agar kemungkinan timbulnya masalah dalam keluarga dapat diatasi sedini mungkin sehingga menutup celah terhadap pelanggaran hukum syara' yang lebih luas.
Keluarga yang rapuh, semata karena kurangnya pendidikan dan penanaman akidah Islam dari orangtua terhadap anak. Selain itu karena kegagalan orangtua mendudukkan konsep 'masalah' kepada anak sehingga terjadi bias ketika menafsirkan permasalahan.
Padahal sejatinya orangtua akan dimintai pertanggungjawaban kelak perihal anak. Apabila orangtua tidak memberikan pemahaman Islam terkait pelanggaran hukum syara' dan batasan interaksi dengan lawan jenis, otomatis pacaran tidak akan dianggap 'masalah' bagi anak. Parahnya lagi, jika orangtua melazimkan hal ini lantaran ketidaktahuan atau kerancuan dalam mendefiniskan 'masalah' yang real.
Pemahaman inilah yang diharapkan melingkupi benak keluarga muslim. Setiap muslim harusnya terikat dengan aturan syara' baik dalam perkataan, perbuatan, maupun tingkah laku. Mereka hendaknya mendudukkan 'masalah' dengan benar sehingga tidak terjerumus pada kecendrungan membesar-besarkan atau sebaliknya menganggap enteng sebuah 'masalah'.
Masalah dan tatacara pemecahannya dalam Islam
Hendaknya setiap keluarga memutuskan 'masalah' berdasarkan syara' sehingga tidak satupun anggota keluarga yang merasa dicurangi, terzhalimi, dan dilucuti hak-haknya. Tentunya hal ini hanya mungkin terjadi jika negara diri'ayah dengan aturan Islam.
Tentu saja dalam memecahkan berbagai permasalahan, Islam memiliki metoda (thariqah) tersendiri. Di sinilah peran mujtahid untuk mempelajari persoalan-persoalan baru. Kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Barulah terakhir mengambil kesimpulan hukum untuk memecahkan permasalahan sehingga dapat diketahui hukum Allah yang berkaitan dengannya. Sehingga masyarakat akan menyikapi setiap masalah dengan berpedoman pada syara'.
Akibat ketiadaan negara, sulit bahkan mustahil meraih keluarga muslim ideal, kecuali hanya parsial. Sebab penyelesaian atas masalah lebih didominasi hawa nafsu dan diserahkan kepada undang-undang. Jika di satu sisi ditemukan keluarga penghafal Alquran, di lain sisi masih ditemukan keluarga broken home dengan segudang 'masalah' lainnya.
Jika negara turut serta meletakkan dasar bagi peran sentral keluarga, maka insyaallah tak sulit meraih predikat 'keluarga bahagia dunia-akhirat'. Sebab masing-masing menyadari hak dan kewajiban masing-masing serta mampu melihat 'masalah' secara benar.
Wallahu a'lam