Kasus pelecehan siswa taman kanak-kanak JIS pada tahun 2014 telah menggegerkan publik. Awalnya, kasus tersebut hanya melibatkan beberapa nama karyawan sebagai pelaku pelecehan. Namun, seiring berkembangnya penyidikan, kasus ini menyeret nama beberapa guru pada sekolah internasional tersebut.
Pada 2015, seorang guru warga negara Kanada, Neil Bantleman divonis bersalah melecehkan siswa JIS dan dihukum 10 tahun penjara oleh hakim PN Jakarta Selatan. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta membatalkan putusan tersebut sehingga dia bebas pada Agustus 2015.
Pada Februari 2016, MA memutuskan Neil bersalah dan menghukum Neil untuk menghuni penjara 11 tahun lamanya. Neil Bantleman sendiri pernah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) pada 2017, namun ditolak oleh Mahkamah Agung.
Pada 2018, Neil mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi. Gayung bersambut, Jokowi memberikan grasi kepada Neil lewat Kepres No 13/G Tahun 2019, yang diteken pada 19 Juni 2019. Neil lalu bebas dua hari setelahnya.
Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly menyebut pemberian grasi tersebut berdasarkan asas kemanusiaan. Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga menanggapi soal pemberian grasi terhadap Neil. Dia mengatakan pemberian grasi itu merupakan persoalan kemanusiaan (detik.com, 19/7).
Miris. Di tengah pemberitaan silih berganti para predator seksual yang menyasar anak-anak, pemberian grasi presiden kepada pelaku pedofil telah melukai nurani publik, khususnya keluarga korban. Publik mempertanyakan komitmen presiden untuk mengatasi kekerasan seksual khususnya yang menimpa anak-anak. Pemberian grasi tersebut dianggap tidak sejalan dengan komitmen tersebut.
Peristiwa kejahatan seksual yang menimpa anak-anak kian mengkhawatirkan. Ketidaktahuan dan kelemahan menyebabkan anak-anak menjadi sasaran empuk penjahat seksual.
Memutus mata rantai kejahatan seksual harus dimulai dengan menemukan akar masalahnya.
Kejahatan seksual menjadi masalah yang sulit diberantas karena beberapa alasan.
Pertama, lemahnya keimanan dan ketaqwaan individu. Benteng pertama dari kemaksiatan adalah rasa takut kepada Allah. Sistem pendidikan sekuleristik nyatanya gagal mencetak insan yang taat kepada Allah.
Kedua, lemahnya penjagaan masyarakat. Masyarakat punya peran besar dalam melakukan amar maruf nahi munkar untuk mencegah berbagai kemaksiatan. Sayangnya, justru sikap apatis dan individualis yang melanda masyarakat kini.
Ketiga, lemahnya penjagaan negara. Sanksi yang tidak menjerakan serta bebasnya tayangan media yang mengumbar syahwat adalah di antara penyebab maraknya kejahatan seksual.
Kondisi ini terjadi karena sekulerisme kapitalisme yang telanjur menjadi nafas negeri. Kehidupan dipisahkan dari pengaturan agama. Hasilnya, terciptalah individu, masyarakat dan negara yang jauh dari aturan agama. Padahal, aturan dari Sang Pencipta tak lain untuk menjaga eksistensi manusia itu sendiri. Saat aturan itu dicampakkan, kehidupan pun menjadi tak karuan. Sementara kehidupan kapitalistik telah melahirkan manusia pemuja materi. Apapun akan dilakukan untuk meraih kesenangan, tak peduli halal haram.
Islam memberikan solusi tuntas untuk memutus mata rantai kejahatan seksual.
Pertama, Islam membangun keimanan dan ketaqwaan individu melalui kurikulum pendidikan berbasis aqidah. Kekuatan aqidah akan mendorong manusia untuk melakukan perintah Allah sekaligus meninggalkan laranganNya. Individu terkondisikan untuk menjauhi kemaksiatan disebabkan pemahamannya. Larangan berkhalwat (berduaan dengan non mahram), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa keperluan yang dibenakan syariat), menampakkan aurat dan tabarruj (berhias berlebihan) jika ditaati oleh individu, secara otomatis akan mewujudkan pergaulan yang sehat. Kehormatan laki-laki maupun perempuan terjaga. Syahwat pun terkendali dan manusia disibukkan dengan berbagai perkara penting untuk meraih ridha Allah.
Kedua, Islam menciptakan masyarakat yang saling menjaga dalam ketaatan. Aktivitas dakwah atau amar maruf nahi munkar merupakan bagian dari syariat Allah. Setiap individu memahami dirinya adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, umat berlomba-lomba untuk memberikan nasihat kepada sesama manusia sebagai suatu ikhtiar untuk mewujudkan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah. Kontrol sosial pun terwujud dengan syariat dakwah ini.
Ketiga, Islam memberikan konsep kenegaraan yang berlandaskan aqidah. Konsep kenegaraan Islam yang biasa disebut Khilafah atau Imamah, merupakan konsep pengaturan negara berlandaskan pada syariat Islam. Setiap aspek yang menjadi kewenangan penguasa ditegakkan dengan syariat Islam. Mulai dari penyusunan kurikulum pendidikan, pengaturan media informasi, hingga persoalan sanksi. Negara menetapkan kurikulum pendidikan berbasis aqidah untuk mencetak insan bertaqwa. Negara pun mengontrol media informasi agar terhindarkan dari tayangan tak bermanfaat, terlebih yang merangsang syahwat. Sebaliknya, media informasi akan dipenuhi berbagai informasi mengenai kegemilangan Islam dan juga konten-konten yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Berikutnya, negara khilafah akan menetapkan sanksi atas setiap pelanggaran syariat berdasarkan hukum yang sudah diturunkan Allah. Kejahatan seksual, seperti sodomi atau pedofolia akan diberikan sanksi tegas yang mencegah orang lain melakukan kejahatan yang serupa. Bentuk sanksi yang demikian akan memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang lain sekaligus juga menebus dosa si pelaku.
Berharap memutus mata rantai kejahatan seksual tanpa mencampakkan sistem hidup sekuler kapitalistik adalah mustahil. Inilah saatnya umat menyatukan tekad dan upaya untuk berjuang mewujudkan kembali penerapan syariat kaffah dalam naungan Khilafah. Perlu penyadaran terus menerus di tengah-tengah umat agar tunduk kepada fitrah diri sebagai hamba Allah. Ketundukan hamba yang sempurna hanya dapat diwujudkan dengan tegaknya Khilafah Islamiyah berdasarkan manhaj kenabian.
Mari wujudkan kehidupan manusia bermartabat dengan penerapan Islam secara sempurna. Wallahualam.