Oleh : Risma Choerunnisa, S. Pd.
(Pengajar di MTs. Manba’ul Huda Bandung)
Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh Baiq Nuril, terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan kuasa hukumnya berakhir dengan penolakan oleh Mahkamah Agung (MA). Hal ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah Indonesia yang berupaya mencitrakan diri di mata dunia sebagai negara yang melihat pemberdayaan perempuan sebagai elemen penting dalam pencapaian target pembangunan (Republika.co.id. 07/07/19).
Kasus ini bermula ketika Baiq Nuril merekam percakapan telepon dengan kepala sekolah yang jadi atasannya saat dia menjadi guru di SMAN 7 Mataram. Rekaman itu untuk membuktikan bahwa bosnya melecehkannya secara seksual. Namu, Baiq justru dilaporkan ke polisi pada 2015 atas tuduhan pelanggaran UU ITE. Pada November lalu, MA menyatakan bahwa Baiq bersalah karena melanggar kesusilaan bedasarkan hukum informasi dan transaksi elektronik (international.sindonews.com, 06/07/19).
Kasus tersebut hanyalah satu dari banyaknya kasus ketidakadilan yang terjadi di Indonesia ini. Maka semakin terungkaplah hakekat keadilan hukum dalam sistem demokrasi yang dengan jelas hanya mengabdi kepada kepentingan pemilik kuasa. Dalam hal ini, Baiq Nuril yang jelas-jelas sebagai korban pelecehan seksual oleh bosnya, malah menjadi terpidana dengan dalih pelanggaran UU ITE karena merekam percakapan telpon yang seharusnya itu menjadi bukti pelecehan atas dirinya.
Hukum dengan yang standar tak jelas, karena tolok ukurnya adalah buatan manusia. Sehingga hukum bisa tumpul kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan, pemilik modal, dan orang-orang yang memiliki kepentingan lainnya, tetapi mejadi tajam kepada orang-orang yang lemah, tidak mempunyai kekuasaan, apalagi modal. Jadilah hukum ini sebagai jadi alat menekan yang lemah dan melanggengkan kekuasaan.
Kasus seperti ini akan terus terjadi selama sistem yang mewadahinya adalah sistem demokrasi. Sistem yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum yang harus dipatuhi. Tanpa melihat adil atau tidak karena yang dilihat adalah menguntungkan dirinya atau tidak. Mereka seakan lupa bahwa mereka harusnya menetapkan suatu hal untuk keadilan itu hanya berdasarkan hukum Allah SWT. sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran.
“Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu –Muhammad- sebagai hakim dalam segala permasalahan yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam diri mereka, dan merekapun pasrah dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisaa: 65)
Kemudian dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga dengan tegas menyebutkan bahwa orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah adalah kafir.
“........ Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q. S. Al- Maidah: 44)
Maka, kapastian hukum hanya ada pada syariat Islam karena yang menbuat bukan manusia dan memiliki standar yang jelas. Kepemimpinan ideologi Islam dengan sisten Khilafah terbukti selama berabad-abad membangun peradaban yang maju dan mulia. Peradaban Islam maju secara sains dan teknologi yang memberikan kesejahteraan, keamanan, kebahagiaan, keselamatan dan keadilan bagi seluruh rakyat lintas ras dan agama. Islam adalah satu-satunya solusi bagi kehidupan manusia di seluruh dunia karena bersumber dari Allah Yang Maha Benar.
Tags
Opini