Oleh : Ummu Hanif (Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang rencana awalnya ditargetkan selesai sebelum masa reses, harus molor karena adanya pro-kontra saat pembahasan. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menyatakan, Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) akan mengubah metode agar pembahasan RUU ini agar segera rampung. Rencananya, kata Marwan, DPR dan Pemerintah akan kembali membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual setelah selesai masa reses, yakni setelah bulan Agustus 2019. (www.tirto.id, 18/7/2019)
Indonesia memang sudah jadi negeri serba darurat. Salah satunya adalah negeri darurat kekerasan terhadap perempuan (KTP). Betapa tidak? Di tahun 2017 lalu, Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus KTP terjadi. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yang mencapai 219.150 kasus. Dan untuk tahun 2018, angka KTP meningkat sebanyak 14% dari tahun sebelumnya. (www.komnasperempuan.go.id, 12/3/2019)
Bisa dipastikan angka ini hanya merupakan fenomena gunung es. Berhubung, kasus KTP seringkali terjadi di wilayah privat, yang bagi sebagian kalangan tabu untuk mengeksposenya.
Kemunculan RUU PKS dalam daftar prioritas prolegnas 2016, prolegnas 2017 dan 2018 lalu dipandang pemerintah beserta kalangan pegiat perempuan dan anak sebagai ikhtiar jitu untuk mengeliminasi kasus-kasus KTP. Namun sejak draf awal diluncurkan di tahun 2011, RUU ini terus menuai kontroversi, baik dari sisi paradigma yang berpengaruh terhadap pasal-pasal definisi dan persanksian, maupun soal kemampuan RUU ini dalam menuntaskan seluruh persoalan KTP.
Pihak penolak, beralasan bahwa rancangan payung hukum ini justru akan memberi celah kerusakan, tersebab paradigma yang digunakan adalah paradigma sekuler liberalis. Di pihak lain, alat yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori-teori gender, yang dipandang bisa berdampak pada rusaknya pola relasi dalam keluarga dan masyarakat, dan selanjutnya berdampak pada kerusakan generasi dan peradaban Islam, mengingat ide-ide gender lahir dari sudut pandang yang mendikotomi peran fungsi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan diaruskan oleh negara-negara imperialis sebagai alat mengokohkan penjajahan melalui perempuan.
Adapun kalangan yang sepakat berargumen, bahwa RUU ini justru akan memberi payung hukum bagi kaum perempuan dan anak. Bahkan draf terbaru dipandang sudah memupus semua kekhawatiran masyarakat soal pertentangannya dengan syariat Islam, seperti isu RUU melegalisasi penyimpangan seksual dan seks bebas, melemahkan fungsi keluarga dan lain-lain. Komnas Perempuan bahkan lantang menyebut, bahwa draf terakhir RUU PKS sudah sangat sesuai dengan syariat Islam yang memuliakan perempuan.
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan bentuk-bentuk kriminalitas lainnya memang seolah sudah begitu akrab dengan kehidupan masyarakat kita hari ini. Hingga tak ada hari tanpa kasus kekerasan terjadi, mulai dari kekerasan yang bersifat verbal sampai yang berujung hilangnya nyawa. Pelaku dan korbannya pun bisa siapa saja, mulai anak-anak, hingga dewasa. Bisa kaum perempuan, juga kaum pria.
Jika dicermati, nyaris semua kasus kekerasan justru selalu dipicu oleh kondisi labil psikis si pelaku. Dan kondisi psikis seperti ini bisa dipicu oleh banyak faktor, mulai dari faktor ekonomi, kekecewaan terhadap perilaku korban alias akibat disharmoni relasi interpersonal maupun relasi sosial, atau akibat paparan perilaku kekerasan yang kerap dipertontonkan oleh media, termasuk yang dicontohkan perilaku elit kekuasaan.
Semua itu kemudian diperparah oleh hilangnya fungsi kontrol masyarakat, serta lemahnya sistem pendidikan dan sistem hukum kita, yang membuat kekerasan demikian mudah dilakukan. Kesempatan berbuat jahat pun demikian terbuka lebar tanpa ada yang siap mencegah dan tanpa ada kekuatan hukum yang mampu membuat siapapun berpikir ulang untuk melakukan berbagai bentuk tindak kekerasan.
Semua fakta ini seharusnya cukup untuk membuktikan, bahwa kasus kekerasan termasuk KTP tak bisa dipandang sebagai kasus yang berdiri sendiri melainkan bersifat sistemik. Dimana, kasus ini muncul sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem hidup yang salah berupa penerapan sistem hidup sekuler liberalistik yang telah melahirkan tata kelola masyarakat yang jauh dari ideal dan menentramkan.
Hari ini, umat justru membutuhkan perubahan mendasar dan menyeluruh, bukan hanya perubahan parsial dan tambal sulam. Perubahan dimaksud adalah perubahan sistem, dari sistem sekuler yang menafikan peran Sang pencipta kehidupan kepada sistem Islam. Mengapa? Karena hanya sistem islam yang memiliki seperangkat aturan, yang bersifat preventif dan kuratif sehingga mampu melindungi masyarakat dari segala bentuk tindak kekerasan, dan kejahatan lainnya.
Seperangkat aturan tersebut ada yang menyangkut benteng diri, berupa aqidah dan pemahaman hukum syara yang memungkinkan seseorang memiliki ketahanan ideologis dan tercegah dari perbuatan kriminal, baik sebagai pelaku maupun korban. Ada juga yang berfungsi sebagai benteng umat, berupa sistem ekonomi dan sosial, sistem politik dan hukum, serta sistem-sistem lainnya yang mencegah kerusakan, menjamin ketentraman hidup dan mensejahterakan.
Persoalannya, seluruh perangkat aturan ini hanya mungkin diterapkan dalam sistem politik yang sepadan, Yakni sistem Khilafah Islamiyah warisan Rasulullah Saw.
Wallhu a’lam bi ash showab.