Mengkomersilkan Pendidikan Seks




Oleh : Nur Arofah
       

Sejak awal Juli lalu, trailer sebuah film remaja wara wiri di televisi. Dalam tayangan dengan durasi kurang  dari dua menit, saya menangkap sinyal yang kurang baik untuk remaja.  Dengan judul “Dua Garis Biru" (DGB), diperankan sepasang ikon idola remaja, Zara Jkt48 dan Angga Yunanda, membuat saya bergidik walau belum melihat secara keseluruhan filmnya. Namun menurut saya, film ini tidak pantas menjadi tontonan remaja. 
        
Ternyata saya tidak sendiri, meski sejak film ini tayang 11 Juli 2019, dan meraih setengah juta penonton dalam tiga hari, ternyata menuai kontroversi. 

Sebuah petisi penolakan digagas oleh para mahasiswa, Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan indonesia (GaraGaraGuru) di Change.org yang berisi : 

Beberapa scene trailer menunjukkan proses pacaran sepasang remaja yang melampaui batas, terlebih ketika menunjukkan adegan berduaan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka. 

Scene tersebut tidak layak di pertontonkan pada generasi muda. Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang ditonton (DetikHot. Rabu, 01/05/2019). 

Tayangan ini mengantarkan pesan bahwa hubungan pacaran dalam sistem sekuler adalah sesuatu yang biasa karena ketertarikan antar lawan jenis. Film ini lebih kepada mengarahkan pendidikan seks yang bebas tapi aman. 

Sejalan dengan pemahaman bahwa naluri seksualitas harus dipenuhi, yang bisa berakibat fatal bila tak terpenuhi. Dan meskipun ada unsur edukasi hanya dititikberatkan pada kesiapan dan kesehatan reproduksi dan mental.

Harapan BKKBN bahwa film DGB merupakan sosialisasi bahaya seks bebas yang menyebabkan kehamilan, seperti jauh panggang dari api. Film ini pada akhirnya terlihat hanya promosi seks bebas tanpa hamil. 

Sungguh ironis kehidupan remaja saat ini, digempur dengan tayangan yang membangkitkan naluri seksual, namun juga tidak diperbolehkan menyalurkan dengan cara yang halal melalui pernikahan. Karena beberapa waktu lalu pemerintah juga sudah mensosialisasikan pelarangan pernikahan dini.

Sejatinya, gejolak naluri seksualitas adalah naluri fitrah yang bangkit dari rangsangan diluar tubuh manusia, serta bila tidak terpenuhi tidak menyebabkan kematian. 

Seorang muslim harus punya keyakinan bahwa harus saling menjaga dan merawat kehormatan, terlebih ketika berkomunikasi, bergaul dengan lawan jenis agar tidak adanya mudhorot (bahaya) atau bahkan fitnah, dilarang berduaan karena ketiganya adalah setan. 

Nabi SAW bersabda : 

لايخلون احدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما

"Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahromnya) karena syetan adalah orang ketiganya, maka barang siapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya. Maka dia adalah seorang yang mukmin" ( HR.Ahmad )

Dalam batasan itu yang harus dipahami adalah bukan sekadar diperbolehkannya pernikahan dini. Namun yang disiapkan adalah bagaimana sebelum adanya pernikahan memaksimalkan pemahaman pernikahan serta kesiapan mental. 

Sunatullah laki-laki dan perempuan ada naluri melestarikan keturunan atau naluri seksual. Namun Islam mengajarkan bagaimana naluri itu lebih disiapkan kepada lelaki agar punya tanggung jawab besar kepada keluarganya sebagai seorang pemimpin, dan bagi wanita disiapkan secara psikologi dan keilmuan sebagai ibu rumah tangga dan pendidik generasi. 

Islam sangat sempurna mengatur dan menjaga generasi  dari kerusakan. Dimulai dengan aturan menjaga pandangan, berpakaian menutup aurat, serta larangan mendekati zina, berkhalwat ,ikhtilat di tingkat pribadi.

Sementara di tingkat yang lebih tinggi,  butuh penjagaan negara dengan menerapkan aturan Islam kaffah dalam bingkai negara Khilafah. 

Wallahu ‘alam bishawab


Jagakarsa 20 Juli 2019

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak