Meliberalisasi Maskapai Indonesia, Asing Berkuasa



Oleh : Lestia Ningsih S.Pd (Aktivis Dakwah SUMUT) 

Dalam menghadapi suatu masalah, seorang pemimpin negara haruslah bersikap bijaksana ketika memberikan solusi bagi rakyatnya. Bukan justru diselesaikan secara instan dan gegabah tanpa pertimbangan yang matang. Seperti kebijakkan Presiden Joko Widodo yang mengatakan akan membuka pintu bagi maskapai asing yang ingin membuka rute penerbangan di Tanah Air guna memperkaya persaingan untuk menurunkan harga tiket pesawat maskapai domestic yang saat ini melonjak dengan dahsyatnya. Bagi beliau Inilah solusi untuk mengatasi mahalnya tiket penerbangan di tanah air. Namun bukan solusi yang diberikan, justru malah menambah masalah baru yang lebih besar. Menurut ekonom senior INDEF, Didik J. Rachbini, jika pertimbangan kebijakan hanya satu sisi dan mengorbankan sisi yang lain, maka diperkirakan bisa merugikan ekonomi nasional dalam jangka panjang. "Kita tidak mendapat kesempatan untuk membangun industri dan pelaku usaha yang sehat jika solusinya gegabah hanya dengan cara mengundang maskapai asing tapi melupakan akar masalahnya. Kerugian tersebut akan terlihat pada akumulasi pendapatan primer Indonesia yang akan lebih meningkatkan defisit jasa dan defisit neraca berjalan" ungkapnya melalui Diskusi Online INDEF (DOI) bertajuk "Mimpi Tiket Penerbangan Murah: Perlukah Maskapai Asing Menjadi Solusi",Minggu (16/6). 

Ketika Kebutuhan pokok yang terus naik penguasa memberikan solusi berupa impor dari luar, tenaga kerja baik dari tenaga profesional sampai tenaga kasar dari asing, tiket mahal diberikan solusi maskapai asing, pengelolaan Sumber daya Alam diserahkan pada asing, kepemilikan pulau-pulau dan beberapa tanah di Indonesia dibeli oleh asing, maka mana andil negara dalam menangani masalah di Indonesia? Bisa-bisa indonesia tergadai dan habis dikuasai asing. Jika semuanya diserahkan pada asing lalu akan seperti apa Indonesia kedepannya? 

Pemerintah nampak lepas tangan dalam penyelesaian kisruh mahalnya harga tiket pesawat bahkan terkesan membiarkan situasi ini untuk membuka celah masuknya korporasi asing dalam pengelolaan sektor layanan publik. Sungguh Paradigma neolib kapitalistik menjadi biang kerok buruknya pengelolaan layanan publik dikarenakan menempatkan negara hanya sebagai regulator bahkan bertindak sebagai perusahaan yang menjadikan sektor ini sebagai industri atau bisnis bukan sebagai pengurus rakyat. 

Berbeda dengan Islam, 3 pilar kepemilikan dalam membangun negara dan mengurusi umat, Kepemilikkan negara, Kepemilikan umum, Kepemilikan pribadi semuanya diatur dengan apik oleh sang menguasa alam,Allah SWT tanpa ada yang merasa terdzolimi. Dari kepemilikan negara, maka tidak ada pengurusan atau kepemilikan asing di dalamnya, begitu pula dengan kepemilikan lainnya. Kepemilikan negara hanya akan dikelola untuk kepentingan umat, kepemilikan umum terkait fasilitas umum dan pelayanan umum dikelola penuh oleh negara, kepemilikan pribadi hanya akan diserahkan pada individu sebagai warga daulah. Mengurusi rakyat adalah amanah bagi penguasa dalam sistem Islam bukan sebagai regulator bahkan pedagang yang hanya memikirkan materialistik saja. Entah sampai kapan kita menunggu untuk bisa merasakan indahnya hidup dalam naungan Islam. Semoga Allah memudahkan kita untuk mencapainya. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak