Oleh: Hening Fazriyah
Baru-baru ini terdengar kembali kabar bahwa Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$250 juta atau setara Rp3,5 triliun, meskipun pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) yang telah mengusulkan program peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Bank Dunia.
Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, mengatakan anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar. "Manfaat itu bahkan menyasar hingga 50.000 madrasah. Kita ingin membangun sistem," kata Kamaruddin, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa (25/6). Meskipun demikian, hendaknya pemerintah tak hanya melihat manfaatnya semata dan harusnya memperhitungkan risiko serta keburukan yang dapat terjadi. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas mempertanyakan dari mana uang untuk membayar dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) dari Bank Dunia untuk peningkatan kualitas madrasah. Dia mengaku belum melihat sumber dana yang bisa digunakan untuk membayarnya.
Kementerian Keuangan mencatat jumah hutang pemerintah pada April 2019 mencapai Rp 4.528,45 triliun. Dengan penambahan pinjaman untuk madrasah tentunya semakin membebani keuangan pemerintah. Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) dari Bank Dunia bukanlah hal baru bagi lndonesia, dengan rawannya tindak korupsi terhadap dana pinjaman selama ini. Prinsip hutang "no free lunch" pun berlaku antara pihak bank dunia terhadap negara penghutang. Bukan semata-mata memberikan pinjaman dan hibah cuma-cuma secara gratis, pihak bank dunia pun ingin memetik manfaat dengan memberikan syarat-syarat dalam memberikan pinjaman.
Minimnya pembiayaan dana pendidikan bagi madrasah menunjukan pemerintah abai terhadap pendidikan Islam selama ini. Padahal peran negara sangatlah penting dalam menopang pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban. Pemerintah sepertinya mulai berlepas tangan dengan bergantung terhadap pembiayaan dana dari pihak asing. Seolah-olah tak sadar membuka celah intervensi asing untuk ikut campur terhadap kebijakan bagi pendidikan di madrasah. Sehingga bukan suatu kemustahilan ide-ide kebebasan yang berasal dari asing semakin mencengkeram kurikulum pendidikan lslam. Ditambah pemerintah mengambil sumber dana pendidikan yang berasal dari pinjaman berbunga yang mengandung unsur ribawi di dalamnya.
Indonesia sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA), sebenarnya mampu untuk membiayai sektor pendidikan secara utuh dan mandiri. Namun semakin sulit rasanya saat mayoritas potensi ini diserahkan pengelolaannya atau bahkan dijual kepada swasta dan asing. Mereka berinvestasi di negeri ini seiring dengan kebijakan pemerintah yang memudahkan. Kebijakan investasi yang disahkan seringkali dimulai dengan adanya perjanjian pemberian pinjaman yang disepakati kedua belah pihak. Hal ini tentunya lebih merugikan lndonesia sebagai pihak penerima pinjaman dan hal ini terus-menerus "dilanggengkan" di negeri ini.
Madrasah merupakan pendidikan Islam, sedangkan pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap warga negara, sehingga menjadi kewajiban sebuah negara untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut. Maka wajar jika negara hendaknya sangat memprioritaskan dengan pengelolaan yang serius. Dana yang dialokasikan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan tidaklah sedikit. Tentu bukan bersumber dari dana pinjaman, melainkan dari dana keuangan yang dikelola oleh baitul maal yang bersumber dari tiga hal, yaitu harta kepemilikan umum, kepemilikan negara dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak ). Sumber dana dari baitul maal bertumpu pada sektor produktif yang dikelola sendiri oleh negara tanpa campur tangan pihak swasta ataupun asing, harta dari baitul maal juga selalu mengalir karena tidak terjerat hutang ribawi. Dan nantinya pemerintah semakin mudah memenuhi segala aspek pendidikan yang berkulitas bahkan dengan secara gratis. Keberhasilan ini akan terlaksana saat aturan Islam diterapkan dalam sistem pendidikan yang tentunya ditopang bersama sektor lainnya seperti sistem ekonomi, sistem pemerintahan, serta sistem pergaulan yang sesuai dengan Islam.