Oleh : Hanah Nuraenah
(Aktivis Ibu Muda Peduli Bangsa, DIY)
Belum tuntas masalah RUU P-KS dan kekerasan terhadap anak, Minggu lalu kita disuguhi lagi kabar mengenai perdagangan manusia (trafficking) berkedok pernikahan di China. Sebanyak 15 orang perempuan asal Indonesia turut menjadi korban. Awalnya kabar ini masih dugaan, ternyata menlu Retno Marsudi membenarkan kasus dugaan perdagangan perempuan wni di china setelah memastikan dengan menghubungi kedutaan besar china yang ada di indonesia terkait kebenaran informasi tersebut. Ternyata informasi itu benar. Sekitar ada 15 perempuan asal indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia (trafficking) di KBRI Beijing.
Namun sangat disayangkan hasil dari diskusi itu seperti bukan hal yang tabu dan tak berujung solusi dengan dalih pemerintahan china berbeda cara pandang hukum, menganggap kasus itu bukan perdagangan manusia (trafficking). Menurut pandangan dubes china “para permpuan dikirim ke china untuk menikah dengan lelaki asal negeri tirai bambu itu dengan imbalan sejumlah uang’’. Coba apa bedanya dengan jual beli? Walaw misal dengan dalih tidak ada pemaksaan tapi di iming-imingi uang untuk di nikahi lalu perempuannya mau. Terus apakah hubungan itu termasuk status berkeluarga yang akan mereka bina itu langgeng sekedar dibeli dengan materi? Stastus berkeluarga itu harus di lihat dari visi dan misi yang jelas, bukan sekedar melabuhkan hawa nafsu dan sebatas nilai materi saja.
Beda halnya dengan cara pandang islam, kehormatan wanita adalah mutiara yang di jaga kesuciannya. Meminangnya adalah tanggung jawab sampai akhirat bukan sebaliknya yang dicanangkan paham kapitalis sekuler dengan ukuran materialis. Dalam pandangan islam kasus tersebut tidak bisa di simpulkan sedangkal itu. Cara dan niat harus jelas sesuai hukum syara. Begitulah islam menempatkan manusia khusunya perempuan. Maka ketenangan lahir bathin akan mereka rasa.
Namun sekarang pemerintah belum menempatkan perempuan layaknya seorang pendidik generasi yang perannya sebagai ummu warabatul bait. Kita berharap pemerintah bisa lebih baik dalam memperhatikan atau menempatkan perempuan pada fitrahnya, juga bisa memberikan kebijakan yang mengikat untuk tidak gampang mengirim-ngirimkan para WNI keluar negeri tanpa tujuan yang jelas dan maslahat.