Oleh : Lestia Ningsih S.Pd (Aktivis Dakwah SUMUT)
G20 rutin mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tiap tahunnya, dimulai dari KTT G20 perdana tahun 2009 di Pittsburgh, AS. Khusus tahun ini, KTT G20 tengah berlangsung di Osaka, Jepang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) berangkat ke negeri Sakura, Kamis (27/6) malam untuk bertemu dengan pemimpin negara lain di KTT G20.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk sebagai anggota G20. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di antara negara G20 pada kuartal I 2019, yakni sebesar 5,07 persen. Indonesia hanya kalah dari China sebesar 6,4 persen dan India sebesar 5,8 persen.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelastianingsih mengatakan optimistis kinerja pertumbuhan ekonomi itu bisa mendatangkan berbagai investasi bilateral di antara negara G20. Pasalnya, capaian kuantitatis Indonesia menandakan Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki potensi. Namun perlu diingat, posisi Indonesia dari segi Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu negara dalam kurun waktu satu tahun, yang berasal dari seluruh warga dan perusahaan yang berdomisili di negara tersebut, termasuk perusahaan dan warga asing. Dengan jumlah penduduk yang besar seharusnya Indonesia mampu menggenjot angka PDB. Sayangnya seperti yang Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani katakan, negara G20 yang berhasil menggenjot PDB seperti China, India, dan Rusia tidak terlepas dari upaya industrialisasi besar-besaran. Mereka, katanya, menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, investasi, dan perdagangan di samping memaksimalkan kekuatan pasar domestik. Artinya pertumbuhan ekonomi di indonesia akan kebanyakan ditopang oleh investasi asing dan kepemilikan asing bukan milik indonesia untuk memaksa pertumbuhan ekonomi yang harus mengundang investasi asing dan kerjasama bilateral dengan negara lain dengan membangun industrialisasi di indonesia dengan menyampingkan pasar Domestik.
Ditambah tidak berkembangnya PDB Indonesia antara lain pasar domestik harus bersaing ketat dengan prodak asing hingga mustahil untuk Indonesia yang memiliki penduduk yang besar untuk memiliki perekonomian mandiri dan meningkatkan PDB. Maka, KTT G20 ini hanya sebuah wacana ilusi yang dibuat untuk menjadikan peneguhkan Posisi Indonesia dan Negeri Berkembang Lainnya Sebagai Objek Proyek Liberalisasi Pasar Global dan kecilnya peluang Indonesia dan negara-negara non ideologis lainnya sebagai negara pengekor memenangi persaingan dalam proyek liberalisasi pasar bebas ini.
Pada hakekatnya perjanjian-perjanjian dan konferensi-k9nferensi internasional hanyalah alat politik negara-negara kapitalis untuk melegalisasi penjajahan, lihat peran AS, china dan eropa dalam G20 mereka merupakan negara yang memiliki produk dalam skala industrial dan tidak sama halnya Indonesia. Seharusnya Indonesia dan negeri muslim lainnya berpegang teguh pada ideologi Islam sebagai modal utama untuk bangkit menjadi negara yang kuat, mandiri dan punya bargaining position di hadapan bangsa lainnya. Pertumbuhan ekonomi dikelola sendiri tanpa investasi dan perjanjian melilit lainnya. Sistem islam juga memiliki aturan dalam mendapatkan keuangan secara mandiri dan pendistribusian harta yang rapi hingga negara tidak memerlukan negara lain untuk menopang perekonomian negara islam. Namun sebaliknya, Negara lainlah yang membutuhkan kerjasama dengan Daulah sebagai peningkatan perekonomian negaranya dengan syarat dan ketentuan yang sesuai dengan hukum syariat.