Oleh : Irayanti
(Member WCWH)
“Jangan sampai, untuk membuat harga tiket murah dan efisien, pasar industri harus dikorbankan.”Begitulah pernyataan Didik J Rachbini ekonom senior Institute for Developmet of Economic and Finance (INDEF).
Harga tiket pesawat terbang baru-baru ini mengudara dan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Dampaknya jumlah penumpang angkutan udara menurun drastis. BPS sendiri melansir pada Maret 2019 jumlah penumpang pesawat sekitar 6,03 juta. Padahal di periode yang sama tahun 2018 lalu jumlahnya mencapai 7,73 juta. Artinya selama 1 tahun terjadi penurunan hingga 21,94 persen. Presiden Joko Widodo mengatakan akan membuka pintu bagi maskapai asing untuk membuka rute penerbangan di tanah air. Hal itu, guna memperkaya persaingan untuk menurunkan harga tiket pesawat domestik. Rencana tersebut dinilai oleh beberapa orang kurang tepat bahkan keliru.
Di tengah kondisi maskapai tanah air yang tengah ‘berdarah-darah’, kedatangan maskapai asing terutama yang memiliki kapital besar akan menjadi pukulan menyakitkan. Apabila wacana tersebut benar-benar terjadi, maka peluang besar akan dikeruk bagi maskapai asing untuk memperoleh keuntungan di Indonesia sebab Indonesia negara kepulauan yang otomatis akan bergantung pula pada koneksi udara.
Pengamat penerbangan sekaligus mantan KSAU, Chappy Hakim, mengatakan bahwa mengundang maskapai asing bukanlah merupakan solusi yang tepat. Bahkan, hal itu dapat mengganggu kepentingan nasional terutama di sektor perhubungan udara. (Merdeka.com, 15/06/2019)
Mengapa Undang Maskapai Asing?
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau menjadikan pesawat terbang adalah salah satu alat transportasi yang efisien untuk masyarakat berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya. Mahalnya harga tiket pesawat adalah alasan bagi pemerintah untuk mengundang maskapai asing untuk mengudara di Indonesia. Selain itu, kehadiran maskapai asing diharapkan tekan persaingan antar maskapai domestik, memberikan keuntungan lebih besar, dan memberi peluang reformasi bagi maskapai domestik agar bisa kompetitif. Pihak pemerintah menilai rencana mengundang maskapai asing perlu dilakukan agar maskapai di dalam negeri mampu bersaing dan terbebas dari duopoli pemain penerbangan domestik. Terlebih selama enam bulan terakhir tarif tiket pesawat tak kunjung turun meski pemerintah telah menetapkan batas atas dan batas bawah.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan dengan adanya maskapai asing beroperasi di Indonesia dapat menciptakan tarif yang seimbang. Ada keseimbangan harga antara supply dan demand. Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan maskapai asing bisa saja masuk ke Indonesia guna mendorong harga tiket pesawat yang lebih kompetitif, namun hal itu masih perlu dikaji. (Merdeka.com,11/06/2019)
Perlu diketahui, bisnis penerbangan domestik selama ini memang dikuasai 2 perusahaan besar yakni Garuda dan Lion. Kelompok Garuda melalui Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, dan Citylink mengangkut 46 persen penumpang domestik. Sedangkan Grup Lion yang terdiri dari Lion Air, Batik Air, dan Wings Air membawa 51 persen penumpang. Bahkan grup Lion membuka pasar di luar negeri seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan India. Fakta inilah yang dituding telah memunculkan kartel tiket pesawat yang berujung pada kenaikan 'gila-gilaan' tiket penerbangan.
Efek Hadirnya Maskapai Asing
Rencana mengundang maskapai asing sebagai salah satu cara agar harga tiket pesawat domestik turun seperti semula disambut antusias perusahaan maskapai China. Walaupun menuai kontroversi, rencana tersebut berjalan terus. Dikutip dari Reuters, pakar penerbangan China Li Xiaojin menyatakan undangan Indonesia untuk memenuhi penerbangan domestiknya akan sangat membantu keterpurukan maskapai China selama ini. Li memperkirakan kerugian harian maskapai akibat menyimpan pesawat Boeing mencapai sekitar 100 ribu yuan atau sekitar US$14.470 per pesawat akan dapat terpenuhi apabila bisa menguasai jasa penerbangan di Indonesia.
Melalui tvOneNews (20/06/2019) Kemenhub memastikan ada 3 maskapai asing yang siap beroperasi di Indonesia. Kehadiran maskapai asing diharapkan bisa membuat persaingan semakin kompetitif dan menurunkan harga tiket pesawat. Adapun pihak yang menolak, menilai bahwa rencana ini justru akan lebih membahayakan ekonomi Indonesia. Selain menyebabkan ketimpangan pasar dan lemahnya rupiah, juga akan membuka penguasaan lebih luas perusahaan asing di Indonesia yang akan sulit dicegah di masa mendatang. Salah satu pakar hukum udara Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia menilai bahwa penyebab tingginya harga tiket pesawat disebabkan banyak hal. Mulai dari inefisiensi maskapai, adanya persaingan bisnis yang tidak sehat tentang tarif tiket pesawat, mekanisme penjualan tiket, sampai dengan mahalnya biaya parkir maupun mendaratkan pesawat di bandara yang mengalami kenaikan setiap tahun. Sehingga menurutnya, masalah ini tidak serta merta terselesaikan dengan liberalisasi industri penerbangan untuk rute dalam negeri. Tetapi pemerintah haruslah membenahi industri penerbangan dalam negeri, bukan malah mengambil jalan pintas dengan mengundang maskapai asing.
Solusi Terbaik
Sebetulnya, keterlibatan maskapai asing dalam bisnis penerbangan di Indonesia sudah lama berlangsung. Hanya saja rutenya adalah penerbangan luar negeri, sementara maskapai asing di rute domestik hanya AirAsia. Itupun ditengarai tidak memberi laba banyak. Paradigma negara dalam pembangunan ekonomi yang kapitalistik neoliberal pun sistem pemerintahan demokrasi yang cenderung koruptif dan di back up kapitalis, maka nampak tidak bisa diharapkan memberi layanan dan mengurus rakyat dengan baik. Pembangunan infrastruktur pun tidak bisa dinikmati rakyat banyak karena mereka harus bayar.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan paradigma pemerintahan Islam. Amanah kepemimpinan diberikan dengan perjanjian yang sangat berat. Tak hanya berdimensi duniawi tapi juga akhirat dan bukan sekedar disumpahi Al Qur’an diatas kepala. Dalam negara Islam dengan penerapan sistem ekonomi dan keuangan Islam yang akan memberi pendapatan melimpah dan berkelanjutan. Mulai dari sumber-sumber kepemilikan umum yang secara syar’i wajib dikelola negara dan manfaatnya wajib dikembalikan untuk kepentingan umat, seperti sumber daya alam yang melimpah ruah, baik berupa barang tambang, hasil laut dan hutan. Juga dari sumber-sumber keuangan lain yang diperoleh berupa kharaj, fa’i, ghanimah, usyr dan lain-lain.
Bahkan di masa-masa kemunduran pun, Khilafah masih menunjukkan jati dirinya sebagai pengurus dan pelindung umat. Sampai-sampai Khilafah Utsmani di tahun 1900-an segera mengadopsi perkembangan transportasi kereta api yang berhasil dikembangkan Jerman untuk mempermudah dan mempersingkat mobilitas jamaah haji dari Istambul ke kota Mekkah. Dan hingga hari ini, manfaatnya masih bisa dirasakan oleh kaum muslimin di sana. Sesuatu yang justru menjadi asing dan tak mungkin diwujudkan dalam sistem kepemimpinan kapitalisme neoliberal. Di mana transportasi dijadikan ladang bisnis para kapitalis.
Wallahu a’lam bish showwab