Oleh: Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan rencana pengenaan cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Pemerintah mengusulkan tarif cukai plastik sebesar Rp30.000 per kilogram dan Rp200 per lembar. Setelah dikenakan cukai maka nantinya harga jual kantong plastik menjadi Rp450-Rp500 per lembar. Selain itu, pengusulan perubahan tarif bea materai juga dilakukan yakni menjadi satu tarif sebesar Rp 10.000. Tarif ini mengalami kenaikan dari tarif bea materai saat ini yang maksimal Rp 6.000.
Tak ketinggalan ditingkat daerah, di Palembang misalnya nasi bungkus dan pempek pun dikenai pajak. Hal ini dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang tahun 2002 tentang pajak restoran yang ditetapkan besarannya yakni 10 persen. Diketahui, saat ini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang terus memasang alat pemantau pajak online (e-tax ) di rumah makan-rumah makan Palembang.
Sanksi pun akan diberlakukan jika terdapat rumah makan yang tidak menggunakan alat ini dalam proses transaksi pembayaran. Maka secara langsung akan diberi surat peringatan (SP) pertama. BPPD tak segan-segan untuk mencabut izin dan sudah menyiapkan alat segel untuk menyegel tempat yang tak memugut pajak.
Langkah-langkah tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan dalih sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun nampaknya hal ini tidak sepenuhnya di respon baik oleh sejumlah pihak. Salah satunya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang memberikan tanggapan atas kebijakan tarif cukai plastik. Mereka meminta kepada pemerintah untuk menjadikan tarif cukai plastik sebagai instrumen untuk mengendalikan produksi dan konsumsi plastik, bukan untuk menambah pendapatan negara. penerapan cukai plastik hanyalah kebijakan transisi dimana nantinya produsen plastik wajib memproduksi plastik yang ramah lingkungan. Setelah plastik ramah lingkungan diproduksi, maka penerapan cukai plastik pun harus dihentikan.
Ironi, inilah yang terjadi di negeri tercinta kita ini. Indonesia yang terkenal akan kekayaan alamnya yang melimpah, kini menjadikan rakyat sebagai objek pemalakan terstruktur sistematis. Segala hal pun dijadikan sarana untuk memperoleh uang meskipun kebijakan publik yang diambil akan mendzolimi rakyat.
Dari sini terlihat jelas bahwa saat ini negara kita telah gagal mengurus potensi kekayaan alam kita sehingga harus memenuhi kebutuhan belanja negara dari anggaran lain yakni pajak. Saat ini pajak merupakan sumber pendapatan utama Indonesia.
Sistem tebang pilih pun rentan terjadi dalam aturan perpajakan di Indonesia. Sebut saja Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mengalami pengurangan menjadi sebesar Rp 30 miliar dari sebelumnya Rp 20 miliar dan Rp 10 miliar. Artinya barang mewah dibawah angka 30 miliar tidak dikenai pajak. Begitu juga dengan pemangkasan tarif PPh Pasal 22 hunian mewah yang turun dari 5 persen menjadi 1 persen, dan validasi PPH penjualan tanah juga akan disederhanakan. Pemerintah mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar sektor properti dapat terus bertumbuh. Terlihat jelas bahwa para pengusaha di bela sementara rakyat kecil ditindas dengan segala kebijakan yang ada.
Pengurusan rakyat sebagai sebuah kewajiban seolah diabaikan, negara hanya melihat rakyat sebagai alat untuk mengeruk keuntungan. Inilah kebobrokan paradigma kepemimpinan kapitalis yang dianut saat ini, dimana memuaskan kepentingan pemilik modal yang dijadikan tujuan, bukan kepentingan rakyat.
Pajak bukan sumber pendapatan tetap dalam islam
Islam tidak mengenal istilah pajak, namun kata yang paling mendekati adalah dharibah. Kata dharibah berasal dari akar kata dharaba-yadhribu-dharban. Ada banyak arti dari akar kata itu, di antaranya adalah mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, dan membebankan. Namun definisi dharibah menurut Syekh Abdul Qadim Zallum ialah harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal 129).
Dalam negara islam atau khilafah, anggaran pendapatan dan belanja negara di dapat dari dua sumber yakni sumber pendapatan tetap dan sumber pendapatan tidak tetap. Sumber pendapatan tetap yang menjadi hak bagi kaum muslimin dan masuk baitul mal adalah (1) Fai'[Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Sedangkan sumber pendapatan tidak tetap adalah sumber pendapatan yang bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi kaum seluruh Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka Khilafah boleh menggunakan instrumen dharibah. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim dikenakan dharibah, apalagi non-Muslim. Dharibah juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional, sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia dikenakan dharibah dan wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak ada beban dharibah baginya.
Maka dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam khilafah tidak akan ada pungutan atau pajak seperti sekarang ini, baik itu pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain. Selain itu, negara juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Maka dari sini dapat kita lihat mana negara yang betul-betul mengurusi umat dan mana negara yang hanya menjadikan rakyat sebagai sapi perah dengan segala kebijakannya. Wallahu a’lam bishawab