Oleh: Cahyani Pramita
(Aktivis, pemerhati generasi dan keluarga)
Hari Keluarga Nasional (Harganas) diperingati pada tanggal 29 Juni setiap tahunnya. Tahun ini peringatan Harganas mengambil tema “Hari Keluarga, Hari Kita Semua, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”.
Dilansir dari suara.com (5/2/2019) bahwa Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKN, M. Yani, menyampaikan berbagai kegiatan akan digelar dalam mewarnai peringatan Harganas. Di antaranya Festival Penggalangan Ceria, GenRe Edu Camp, One Stop Service pelayanan untuk anak-anak, One Day for Children untuk anak-anak terlantar, seminar tentang kependudukan dan perkawinan anak hingga lomba pencegahan perkawinan anak. M. Yani mengatakan, tujuan dari peringatan Harganas ini adalah untuk meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dalam kerangka ketahanan keluarga.
Membangun dan meningkatkan ketahanan keluarga selalu digaungkan oleh negeri ini. Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Definisi ketahanan keluarga adalah kondisi dinamis suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Masyarakat diyakinkan bahwa keluarga kecil akan lebih bahagia, lebih sejahtera, lebih tangguh menghadapi kesulitan-kesulitan hidup (akses terhadap pendidikan berkualitas, akses kesehatan, goncangan social dan sebagainya). Pelarangan pernikahan dini juga dikatakan dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang dapat menghancurkan keluarga. Dan ini semua disampaikan secara massive, terstruktur dan dibacking dengan dana besar. Apakah ketahanan keluarga harus sepenuhnya disandang oleh keluarga itu sendiri tanpa melibatkan pihak lain (masyarakat dan negara)?
Persoalan ketahanan keluarga adalah persoalan sistemik. Bukan sekedar mengembalikan peran dan fungsi keluarga saja. Ia perlu dituntaskan dengan hal-hal lain diluar ranah keluarga karena keluarga hanya institusi terkecil yang nasibnya sangat bergantung dengan kondisi sistem ekonomi, pendidikan, social, kesehatan, keamanan, hukum, politik yang dijalankan oleh negara.
Bagaimana rakyat mampu meraih pendidikan tinggi, pendidikan berkualitas sementara biayanya tidaklah murah. Rakyat yang menjadi sibuk, lelah, dituntut bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mencekik, sangat terbatas kemampuannya untuk menjangkau pendidikan tinggi dan berkualitas itu. Jikalau ada yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi, berkualitas ia masih dihadapkan lagi dengan sulitnya mendapatkan pekerjaan karena serangan TKA datang dari berbagai penjuru negeri ini. Guru impor, dosen impor, tenaga ahli impor, rakyat hanya mendapatkan posisi perkerjaan sisa, menjadi buruh yang terbuang di negerinya sendiri. Besarkah gaji/upah yang ia terima? Mampukan sejahtera ekonomi keluarganya?
Saat generasi muda didorong untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya, menunda pernikahan hingga ia telah “mapan” terlebih dahulu (sementara gejolak syahwatnya telah menggebu menuntut pemenuhan) juga akan menimbulkan masalah pergaulan bebas merajalela. Meningkatnya penderita penyakit menular seksual hingga AIDS, minimnya rasa takut terhadap Tuhan, jauh dari sikap ksatria yang penuh tanggungjawab terhadap perbuatan dan hidupnya, kejahatan seksual hingga penyimpangan seksual, dekadensi moral karena himpitan kehidupan, dan sebagainya.
Bagaimana keluarga mampu bertahan sementara gempuran kerusakan justru dilanggengkan oleh penguasa saat ini? Negara melindungi pornografi(aksi), menerapkan ekonomi kapitalis yang berpihak pada pemodal (bukan rakyat), mengusung kebebasan di setiap lini kehidupan. Sungguh jauh panggang dari api. Takkan pernah terwujud ketahanan keluarga dalam sistem kehidupan yang sekular-liberal saat ini karena negara tidak mengambil peran untuk menciptakan sistem yang tepat (sistem islam) untuk keluarga kita. Negara justru mencabik-cabik keluarga dan generasi dengan penerapan sistem sekular-liberal ini.
Sesungguhnya Islam telah datang dengan memberikan solusi atas segala permasalahan manusia, termasuk persoalan keluarga. Mewujudkan ketahanan keluarga sangat erat kaitannya dengan peran negara sebagaimana pesan Rasul SAW “Innama al-imamu junnatun yuqatalu min wara’ihi wa yuttaqa bihi……..” (Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung….” )(HR. Bukhari, Muslim, An Nasai, Ahmad). Imam (kepala negara) dijelaskan oleh imam An Nawawi bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni seperti tirai/penutup karena menghalangi musuh menyerang kaum muslim, menghalangi sebagian masyarakat menyerang sebagian yang lain, melindungi kemurnian Islam dan orang-orang berlindung kepadanya.
Imam yang memimpin dengan aturan Islam dalam bingkai kekhilafahan ini akan mampu berperan sebagai junnah. Junnah individu, keluarga, masyarakat, agama dan negara. In syaa Allah.
Waalahu’alam bish shawab.