Oleh: Aning (Ibu Rumah tangga)
Jakarta-Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara harus bersiap-siap menghadapi kekeringan. Antisipasi urgent dilakukan karena kekeringan yang akan terjadi terbilang panjang dan extrim. Peringatan itu disampaikan Badan Meteologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berdasarkan hasil monitoring hari tanpa hujan (HTH) hingga tanggal 30 Juli 2019. Beberapa daerah dijawa yg berpotensi mengalami kekeringan antara lain Sumedang, Gunung Kidul, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Gresik, Tuban, Pasuruan, dan Pamekasan. Berdasarkan catatan BMKG wilayah yang memiliki potensi kekeringan adalah yang telah mengalami HTH lebih dari 60 hari dan diperkirakan curah hujan rendah alias kurang dari 20 mm dalam 10 hari mendatang dengan peluang lebih dari 70%.
Melihat gambaran kekeringan yang melanda negeri ini berikut dampak yang ditimbulkan nya, pasti akan memunculkan pertanyaan, 'apa yang sudah dilakukan pemerintah?'. Bencana kekeringan yang dipengaruhi oleh anomali iklim El Nino bukanlah pertama kali melanda negri ini. Dalam catatan bencana di Indonesia El Nino yang terjadi pada tahun 1997-1998 merupakan fenomena yang memiliki dampak paling kuat. Kerugian yang dialami Indonesia terutama terjadi pada sektor pertanian dan Kehutanan. Saat itu kekeringan melanda 3,9 juta hektar lahan pertanian dengan total kerugian 4,66 juta dolar AS. Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan terjadi pada 11,6 juta hektar dengan total kerugian 2,75 miliar dolar AS. Dari luas total hutan yang terdampak ketika itu, terdapat 1,45 juta lahan gambut yang kaya karbo. Ini mengakibatkan emisi karbon dioksida sebesar 2,5 gigaton atau setara 40% emisi global. Angka emisi karbon yang menggila tersebut terdapat luar biasa hebat pada kebakaran hutan dan seketika mencemarkan langit Indonesia dengan warna hitam pekat akibat kebakaran hutan. Kala itu, lebih 20 juta penduduk Asia Tenggara terkena serangan pada kesehatan pernapasan. Bahkan ketika itu banyak pakar ekonomi memprediksi bahwa gejala El Nino 1997 menjadi pemicu paling masuk akal atas krisis moneter Indonesia yang paling parah sepanjang sejarah bangsa. Pengalaman bencana kekeringan akibat El Nino 1997-1998 seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk bisa menghadapi bencana kekeringan akibat kemarau ditahun yang akan datang. Akan tetapi, seperti bencana kekeringan yang terjadi saat ini, pemerintah terkesan lamban dan masih meraba-raba solusi apa yang paling tepat untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah kekeringan ini.
Krisis air bersih dan darurat kekeringan akut tengah melanda hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan berbagai penjuru dunia. Petunjuk bahwa ditangan peradaban Barat sekuler bumi tengan menderita kerusakan lingkungan yang sangat parah. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan sumber daya air yang melimpah, berikut mekanisme daur air agar lestari bagi kehidupan. Tidak hanya itu Allah SWT juga menciptakan keseimbangan pada segala aspek yang dibutuhkan bagi keberlangsungan daur air. Mulai dari hamparan hutan, iklim, sinar matahari, hingga sungai danau dan laut. Ketersediaan air yang berlimpah dibumi ditegaskan Allah SWT yang artinya, "........ dan dari air kami jadi kan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tiada juga beriman? " (TQS Al Anbiyaa, ayat 2). Tidak hanya berlimpah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tapi juga bagi kelestariannya kehidupan dibumi. Artinya, darurat kekeringan dan krisis air bersih bukan karena kekurangan nya sumber daya air.
Sudah saatnya fenomena kekeringan yang melanda negara kita untuk dijadikan bahan muhasabah bagi bangsa. Sesungguhnya ini adalah sebuah pertanda bahwa Allah tengah berbahasa kepada hamba-Nya. Tiada kejadian, tanpa kehendak-Nya. Sehingga sidah sepatutnya Bangsa Indonesia untuk semakin beriman dan berktakwa kepada Allah Swt. Dengan berhukum kepada setiap aturan-Nya. Menjalankan yang halal dan menjauhi yang haram. Menerapkan standar hidup sesuai kibatullah dan sunah Rasulullaah dalam kepemimpinan Islam (khilafah Islamiyah). Wallahu'alam bishowab
Tags
Opini