Buanglah sampah pada tempatnya. Begitu tulisan yang kerap tertera di penjuru kota. Ya, galibnya barang kotor tentu dibuang. Agar lingkungan terlihat bersih dan nyaman. Namun apa jadinya bila sampah justru dibeli? Tak tanggung-tanggung, hingga melampaui batas negara alias impor.
Sebuah ironi jika zamrud khatulustiwa dengan wilayah terbentang luas dan sumber daya melimpah nyatanya mengepul sampah dari luar negeri. Berbekal semangat mengimpor rela menjelma sebagai tempat penampungan barang apkiran. Parahnya lagi sebagiannya merupakan sampah plastik yang berdampak merusak lingkungan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan UN Comtrade, volume impor sampah plastik di Indonesia mencapai titik tertingginya hingga 283 ribu ton pada tahun lalu. Jumlah ini dua kali lipat dari angka impor 124 ribu ton pada 2013. Data BPS menggambarkan peningkatan impor 141 persen. Pada saat bersamaan, angka ekspor justru menurun 48 persen (sekitar 98.500 ton). Itu menandakan ada sekitar 184.700 ton sampah plastik di Indonesia, yang tidak diketahui nasibnya, di luar beban timbunan sampah plastik domestik sekitar 9 juta ton. (tirto.id, 26/6/2019).
Kebijakan Sampah Berisiko Salah Kaprah?
Siapa sangka kegiatan impor limbah didukung perangkat hukum yang berlaku. Asalkan yang diimpor adalah limbah non-B3 (bukan Bahan Berbahaya dan Beracun) maka berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya hal itu dibolehkan.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa limbah non-B3 yang dapat diimpor hanya berupa sisa, reja (sisa buangan) dan scrap. Namun aturan ini tak selamanya diindahkan seperti kasus yang terjadi di Batam, Kepulauan Riau. Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan mendapati adanya limbah B3 disusupkan masuk dalam kontainer yang berisi limbah non-B3.
"Pada saat pemeriksaan ada limbah B3 padahal dokumen persetujuan impor adalah non-B3," kata Kasi Humas Dirjen Bea Cukai Sudiro. (cnbc.com, 3/7/2019).
Selain limbah B3, limbah plastik pun berisiko tinggi karena sifat plastik yang memang susah diuraikan oleh tanah meskipun sudah tertimbun bertahun-tahun. Plastik baru bisa diuraikan oleh tanah setidaknya setelah tertimbun selama 200 hingga 400 tahun. Bahkan ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa sampah plastik bisa terurai dalam waktu 1000 tahun lamanya.
Proses penguraian yang lama inilah kemudian mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan, seperti munculnya zat kimia yang dapat mencemari tanah sehingga berkurang tingkat manfaat dan kesuburannya.
Hingga tak terbayang dunia seperti apa yang akan diwariskan ke anak cucu kelak bila hal ini dibiarkan lama.
Langkah perbaikan mutlak menuntut goodwill alias kemauan kuat dari para penentu kebijakan negara. Sebab akar masalahnya sederhana. Penerapan sistem Kapitalisme biang keroknya. Prinsip asas manfaat yang merupakan ciri khasnya. Membuat segala diukur dengan keuntungan dunia. Selama mendatangkan fulus mengapa tidak, meski kemudaratan sebagai taruhannya. Tak terkecuali dalam hal limbah ini.
Mengatasi Impor dengan Solusi Hakiki
Satu-satunya yang sanggup mengatasi problem ini sejak dari akarnya hanya Islam. Yang mengatakan bukan, baiknya duduk bersama mengkaji agama ini dan mempelajari agar paham. Sebab Deen ini diturunkan dari Sang Maha Pencipta yang mustahil zalim. Rasulullah saw. yang diutus membawanya di antara para Nabi dan Rasul pun adalah khatim (penutup).
Tak ada Nabi dan Rasul lain setelahnya. Dengan demikian Islam adalah Deen yang sempurna dan paripurna dari Allah untuk manusia seluruhnya. Firman Allah,
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (TQS. Al Anbiya: 107).
Di ayat lain Allah menegaskan perintah bagi kita sebagai orang yang beriman pada Islam,
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.” (TQS Al Baqarah: 208).
Untuk itu terhadap masalah impor tak terkecuali juga ada solusinya. Secara umum kebijakan perdagangan dalam dan luar negeri dibebankan oleh Islam pada negara. Dalam Islam negara yang berbentuk khilafah bertanggung jawab penuh menjamin ketersediaan kebutuhan bagi setiap individu warga.
Jika demi menjaga suplai barang dalam negeri dianggap perlu adanya impor, maka ketentuannya sebagai berikut,
Pertama, khalifah sebagai kepala negara akan mengizinkan kaum Muslim dan Dzimmiy (warga negara kafir yang berada di bawah naungan khilafah) untuk mengimpor komoditas dari negara-negara di luar khilafah. Terhadap kafir Mu’ahad, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian negara, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari khilafah maupun komoditas yang mereka ekspor.
Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari negara. Sedang orang kafir yang membuat perjanjian dengan negara (Mu’ahad) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam negeri.
Kedua, terhadap negara kafir Harbi Fi’lan (yang nyata memerangi Islam), tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada ialah hubungan perang. Atas dasar itu, kaum Muslim dibolehkan merampas harta mereka atau memerangi mereka di mana pun mereka jumpai.
Ketiga, kafir Harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah negara, kecuali ada izin masuk (visa) dari negara. (Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).
Jelaslah meski berdalih sampah yang diimpor dapat menjadi bahan baku industri tetap saja dalam Islam sampah tak pernah masuk hitungan sebagai salah satu jenis barang yang diimpor. Tak lain karena Islam menetapkan negara harus mandiri dan berdaulat. Haram dijajah apalagi menggantungkan suplai bahan baku pada pihak asing.
Sayangnya jalan keluar di atas hanya bisa terwujud jika umat manusia menyadari konsekuensi sebagai makhluk ciptaan Allah swt. Untuk kemudian bersegera mengambil dan menerapkan syariat-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengannya kesejahteraan akan terwujud dan Islam segera terbukti rahmatan lil’alamiin. Semoga. Wallahua’lam.
Ummu Zhafran (penulis lepas)