Oleh : Ummu Zulfa
Dalam banyak kasus, dunia peradilan di negeri ini sering mempertontonkan ketidakadilan. Salah satunya adalah kasus Baiq Nuril Makmun (37th) yang menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasusnya menjadi ironi hukum di Indonesia. Kasus ini bermula ketika dia merekam percakapan telepon dengan kepala sekolah yang jadi atasannya saat dia menjadi guru honorer di SMAN 7 Mataram. Rekaman itu untuk membuktikan bahwa bosnya melecehkannya secara seksual. Namun Baiq justru dilaporkan ke polisi atas tuduhan pelanggaran UU ITE (sindonews.com).
Sebelumnya, MA menolak pengajuan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan oleh Baiq Nuril. Ditolaknya PK ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yang menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan (Republika.co.id).
Di dalam sistem sekuler yang menerapkan hukum-hukum buatan manusia, keadilan seperti barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh para pejabat dan mereka yang berduit. Pengadilan hanya menghukum rakyat kecil. Para penegak hukumnya pun mudah dibeli dan tidak memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Mereka jauh dari nilai-nilai agama (Islam).
Di negeri ini rakyat kecil yang mencuri dengan harga yang tak seberapa bisa dijerat hukuman beberapa bulan. Sedangkan para pejabat dan penguasa yang memakan uang rakyat dan negara hingga triliunan bisa bebas dari jeratan hukum.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, bahwa pernah seorang wanita ternama dari suku Makhzum mencuri pada zaman Rasulullah SAW. Keluarganya mencoba mendapatkan keringanan hukuman dari Rasul SAW. Mereka memohon agar Rasul tidak menerapkan hukuman potong tangan atas dirinya. Mendengar dan melihat sikap mereka itu, Rasul marah sambil bersabda : “ Sungguh orang-orang sebelum kalian hancur karena saat ada orang terpandang mencuri, mereka biarkan, tetapi saat orang lemah (rakyat jelata) mencuri, mereka menerapkan hukuman atas dirinya. Demi zat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, bahkan andai Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.” Rasulullah lalu memerintahkan agar wanita itu dipotong tangannya (HR al-Bukhori dan Muslim).
Islam memberikan serangkaian panduan dan petunjuk serta sistem untuk mewujudkan keadilan di tengah-tengah umat. Allah adalah Dzat Yang Maha Adil sekaligus yang mengetahui keadilan hakiki. Karena itu standar keadilan hakiki tentu harus bersumber dari Allah SWT. Itulah syariah Islam yang telah Allah turunkan kepada kita. Saat syariah tidak dijadikan rujukan, kezalimanlah (bukan keadilan) yang tercipta.
Penyelesaian suatu perkara hendaknya diputuskan menurut hukum syariah yang telah Allah turunkan. Karena hanya hukum Allah yang paling baik, dan tidak ada yang lebih baik dari hukum-Nya. Sebagaimana firman Allah : “ Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi kaum yang yakin?” (TQS al-Maidah : 50)
Allah juga memerintahkan ulil amri atau para penguasa, termasuk hakim untuk memutuskan perkara diantara manusia dengan adil. Allah berfirman : “ Sungguh Allah telah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum diantara manusia supaya kalian berlaku adil.....(TQS an-Nisa : 58).
Hal ini tergambar ketika qadhi (hakim) Suraih mengadili Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seorang Yahudi dalam persengketaan baju besi. Khalifah Ali bin Abi Thalib suatu ketika menemukan baju besinya ada pada seorang Yahudi. Lalu keduanya mengajukan perkaranya kepada qadhi Suraih. Ternyata Khalifah Ali tidak punya bukti. Namun mengajukan dua orang saksi. Kesaksian dari anaknya, Hasan, ditolak oleh qadhi. Akhirnya qadhi Suraih memutuskan baju besi untuk orang Yahudi. Karena melihat keadilan yang tidak pernah memihak siapapun, termasuk amirul mukminin, akhirnya orang Yahudi itu pun masuk Islam.
Maka keadilan yang didambakan umat akan terwujud apabila syariah Islam yang berasal dari dzat Yang Maha Adil dijadikan dasar untuk memutuskan perkara dan qadhi memberikan keputuskan atas dasar iman dan rasa takut akan azab neraka. Dan itu hanya ada ketika syariah Islam diterapkan secara kaffah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab