Oleh : Ananda Dzulfikar
Anggota Komunitas Sahabat Taat Nganjuk
Lagi viral, setidaknya inilah yang memicu tulisan ini dibuat, baru-baru ini muncul kasus trafficking WNI di Tiongkok yang tidak semua masyarakat tahu tentang hal tersebut. Apa sih human trafficking itu? Human trafficking atau perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman atau penampungan orang-orang dengan cara ancaman atau kekerasan demi tujuan eksploitasi, pelacuran, seks, penyalahgunaan kekuasaan serta perbudakan yang hanya menguntungkan satu pihak saja (Trafficking Victim Protection Act PBB 2000). Hemm cukup ngeri bukan? Padahal kalau kita lihat para tetangga kita yang sukses sepulang dari manca negara bisa membeli ini itu termasuk barang mewah seperti mobil dan dapat menggandakan rumah mereka keatas mirip gedung membuat kita jadi ngiler melihatnya. Lalu betulkah sudah terjadi trafficking di negeri kita yang kita nilai cukup aman bagi pekerja luar negeri diikuti dengan banyaknya tenaga kerja yang sudah terlanjur dikirim ke hampir keseluruh penjuru benua?
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membenarkan ada perempuan warga Negara Indonesia yang diduga menjadi korban perdagangan yang terjadi di China. Dilansir dari Kompas Menlu membenarkan hal tersebut. setidaknya ada 15 orang WNI yang menjadi korban trafficking. Menlu juga sudah berdiskusi dengan pihak KBRI Beijing tentang kasus yang menimpa sejumlah wanita Indonesia yang sedang menunggu dipulangkan ke Indonesia. Menurutnya prosesnya akan memakan waktu yang lama (19/7/2019).
Seperti yang kita tahu katanya sih negara kita adalah negara yang berdaulat, berdiri sendiri dan mandiri tanpa adanya setiran dari negeri lain, begitulah setidaknya klarifikasi dosen saya waktu ngampus dulu. Tapi benarkah demikian? Jika memang benar seharusnya Indonesia tidak berbelit-belit dalam menyelesaikan berbagai masalah manca yang ikut menyeretnya termasuk dalam hal perdagangan manusia. Apalagi mereka adalah penduduk pribumi dengan sematan pahlawan devisa. Pemerintah dalam hal ini dituntut bertindak cepat dan tegas.
Menyamakan persepsi
Kita tentunya menginginkan permasalahan perdagangan manusia tersebut segera diselesaikan agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Alih-alih menangani kasus trafficking yang sedang terjadi dengan serius, pemerintah melalui Menlu malah berdiskusi dan menyamakan persepsi dahulu dengan dubes Tiongkok. Lah bagaimana kasusnya akan cepat selesai jika konsep berpikir, kepribadian bangsa dan hukum jauh berbada dengan negara kita?. Hukum Indonesia mengklaim jika kasus ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan perdagangan manusia. sedangkan Tiongkok hanya memandang perasalahan ini sebagai masalah keluarga. Pertanyaannya bisakah kedua negara segera menemukan jalan keluarnya? Kita tunggu saja.
Indonesia dan ketundukkannya terhadap asing
Jika Indonesia benar-benar mandiri dan tegas dalam menegakkan hukum negaranya dalam melindungi segenap bangsanya dimanapun ia berada seharusnya kasus ini bisa ditindak tegas dan cepat terselesaikan, apalagi Indonesia sudah mengantongi bukti kuat jika permasalahan ini termasuk kasus tindak kriminal. Indonesiapun bisa melaporkannya kepada hukum internasional, bukan malah rembukan dan mencari solusi bersama. Ujung-ujungnya pun kasus ini hanya akan diselesaikan dengan memulangkan para WNI yang menjadi korban dan memberi penyuluhan agar tidak tergiur uang bayaran sedangkan pelaku bebas berkeliaran lagi mencari mangsa baru tanpa adanya sanksi tertentu.
Hukum Indonesia yang selalu diagung-agungkan bangsanya ternyata loyo dihadapan negara asing. Apalagi yang dihadapi adalah negara yang banyak jasa berinvestasi kepada negeri, contohlah Tiongkok yang sekarang ini sedang merajai pembangunan infrastruktur indaonesia dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana Indonesia tidak mau sendiko dawuh terhadap negeri tirai bambu tersebut? bisa-bisa semua infrastruktur yang tengah berjalan dan hutang yang menggunung tiba-tiba ditarik, kan nggak lucu disaat anggaran Negara habis-habisan habis dibuat pesta demokrasi kemarin.
Apakah cukup hanya kasus itu saja? Tentu tidak, bukti ketidak tegasan negara ini sudah banyak terjadi dalam menghadapi negara lain, contoh saja kasus Australia yang menyadap telepon sejumlah pemimpin Indonesia yang hanya berakhir dengan pemulangan kembali dubes Australia kenegara asalnya. Lebih dari itu ada Amerika dibalik prakarsa penyadapan tapi kasus tersebut hilang begitu saja. Amerika pun masih langgeng menduduki, mengelola, menguasai dan membangun apapun yang ia mau di negeri ini.
Hukum islam satu-satunya yang tegas dalam menangani kasus
Masih ingatkah dibenak kita kasus seorang wanita yang dilecehkan oleh yahudi? Yup, kejadiannya pada tahun 837M pada zaman kekhilafahan Al Mu’tasimbillah pada masa Abbasiyah. Ketika itu ada seorang muslimah yang diganggu oleh orang Romawi di pasar kota Ammuriyah dibawah kekuasaan Romawi. Sedangkan kekuasaan Abbasiyah berada di Bagdad, Iraq. Mendengar kasus tersebut beribu-ribu pasukanpun dikerahkan oleh sang Kholifah. Karena saking banyaknya pasukan garda terdepan sudah sampai di kota Ammuriyah sedangkan pasukan belakang masih ada di perbatasan kota Bagdad. Sebegitu seriusnya Kholifah menyelesaikan kasus tersebut akhirnya berperanglah pasukan Islam dan Romawi. Sebanyak 30.000 pasukan Romawi tewas dan 30.000 lainnya dijadikan budak.
Begitu mengesankan ketegasan hukum islam dan para pemimpinnya dalam melindungi warga negaranya. Dalam menyelesaikan kasus trafficking ini tentu kita tidak harus berperang tapi tidak pula berdiskusi menyamakan persepsi yang akhirnya penyelesaiannya sebatas dengan kekeluargaan. Paling tidak bisa menimbulkan efek jera maupun pemutusan kerjasama. Akan tetapi ekspektasi ini tentu tidak akan pernah menjadi realita jika hukum yang kita gunakan masih buatan manusia.