Jika Isterimu Marah




Oleh : Netty Susilowati 


Kehidupan dalam keluarga tidak selalu indah. Kadang ada saja pertengkaran yang terjadi. Mulai perkara yang remeh temeh hingga yang buat sakit hati. Tidak jarang pertengkaran itu berujung pada perceraian. Ini jika kedua belah pihak tidak memahami hak dan kewajiban suami istri. Atau tak paham bagaimana berlaku baik terhadap isteri. Atau memposisikan suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. 


Adalah wajar jika dalam rumah tangga ada sebuah riak-riak dalam perjalanan. Karena dua manusia yang berbeda latar belakang disatukan dalam ikatan mulia. Maka keduanya harus berusaha mengenal, menyelaraskan dan memahami pasangan. Jika ingin menggapai sakinah mawadah wa rahmah dalam keluarga. 


Umar bin Khaththab telah mencontohkan kepada kita. Bagaimana bersikap bijak ketika menghadapi isteri yang sedang marah. Agar marah itu tidak berujung pertengkaran. Dan menghancurkan keluarga. Tetapi membawa rahmat dan instrospeksi  berdua. 


Dalam Uqud al-Lujjain diceritakan bahwa suatu hari, salah seorang sahabat Rasulullah Saw., (ada yang mengatakan bahwa sahabat yang dimaksud adalah Abu Dzar al-Ghifari) stress karena isterinya sering memarahinya. Ia punya niatan untuk menceraikan istrinya, namun sebelum opsi itu ia putuskan, ia ingin berkonsultasi terlebih dahulu dengan kawan terdekatnya, Umar bin Al-Khatthab sang Amirul Mukminin. 


Namun, ketika sahabat tersebut sampai di teras rumah Umar, secara tidak sengaja ia mendengar isteri Umar sedang memarahinya. Nada isteri Umar pun meninggi, dan terdengar membesar-besarkan masalah yang sebenarnya sangat remeh. Namun Umar hanya diam saja. Beliau cenderung pasif dan tidak berkata apa-apa. Sahabat tadi pun bermaksud untuk kembali, ia segera melangkahkan kakinya sambil bergumam, “Kalau khalifah saja seperti itu, bagaimana dengan diriku.”


Tidak lama kemudian, Umar membuka pintu rumahnya dan ketika melihat sahabat tersebut hendak kembali pulang, ia memanggilnya, “Saudara, ada keperluan apa engkau datang ke rumahku?.” Orang itu menjawab, “Kedatanganku sebenarnya ingin berkonsultasi mengenai isteriku yang sering marah-marah, namun aku mendengar isteri Anda sendiri berbuat yang sama. Aku tidak ingin mengganggu, sementara Anda sendiri sedang ada masalah.”

Umar tersenyum, lalu berkata, “Saudara, mereka adalah isteri-isteri kita. Aku rela diperlakukan demikian, karena mereka punya hak atas kita. Isteriku sering memasakkan makanan untukku dan membuatkan roti untukku. Ia mencucikan pakaian-pakaianku, mendidik dan menyusui anak-anakku. Aku cukup merasa tenang tidak melakukan hal yang haram, karena pelayanan isteriku. Sebab itulah, aku relakan meskipun dimarahi isteriku.” Sahabat tersebut lalu berkata, “Wahai Amir Al-Mukminin, apakah aku juga harus berbuat demikian terhadap isteriku?.” Umar menjawab, “Benar, diamlah ketika dimarahi isterimu, karena apa yang dilakukannya tidak akan lama.”


Betapa gembiranya sahabat itu mendapat solusi terbaik dari sang khalifah. Segera ia memohon diri untuk pamit untuk kembali ke rumahnya. Dan sejak itu, sahabat tersebut tidakk pernah bersikap keras terhadap isteri dan ia lebih memilih untuk bersikap pasif ketika sang isteri memarahinya.


Kisah ini juga bukan berarti melegalkan sikap marah-marah isteri pada suami. Isteri juga harus memahami suami ketika suami lelah bekerja mencari nafkah. Menjadi penyejuk pandangan dan hati suami. Menjadi isteri salihah  sebaik-baik perhiasan dunia. Keluarga yang dibangun dengan sebuah pemahaman bahwa Allah menjadikan berpasang-pasangan agar saling mengenal, menjadikan dalam pernikahan sakinah mawadah  warahmah, akan berusaha untuk mewujudkannya. Tidak sekedar pemuas nafsu syahwat saja.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak