Oleh: Puji Astuti, S.Pd.I
Tahun ajaran baru telah dimulai. Para orang tua murid dan sekolah mempersiapkan segala sesuatunya agar kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik. Orangtua mencarikan sekolah terbaik yang mereka mampu lakukan. Sekolah atau madrasah pun membenahi dirinya agar mampu mencetak siswa yang berkualitas. Upaya sekolah atau madrasah berbenah diri membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Seperti yang diketahui, World Bank (Bank Dunia) mengucurkan dana sebesar Rp 3,5 triliun untuk peningkatan kualitas madrasah dasar dan menengah di Indonesia.(CNNIndonesia, 28/06/2019). Pemberian pinjaman ini bertujuan agar kualitas madrasah di Indonesia semakin lebih baik. Dunia memandang pendidikan Islam di Indonesia dinilai paling modern di dunia, padahal faktanya tidak semua madrasah di Indonesia demikian.
Kita tentu senang dengan sebutan pendidikan Islam di Indonesia dianggap paling modern di dunia, namun pertanyaan berikutnya adalah benarkah World Bank mengucurkan dana dengan gratis tanpa kompensasi apapun? Di dalam dunia kapitalis terkenal dengan istilah Not free lunch (tidak ada makan siang yang gratis). Benarkah tidak ada apa-apanya.
Sangat disayangkan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan madrasah di Indonesia harus dengan berhutang. Tidakkah kita ingat bahwa jumlah Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir
April 2019 sebesar 3,983 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 5.528 triliun (Kompas.com 16/06/2019). Dengan angka sedemikian besar, mampukah Indonesia membayarnya? Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas mempertanyakan darimana uang untuk membayar pinjaman sebesar Rp. 3,5 triliun. "Bayarnya bisa apa enggak, siapa yang bayar nanti? Darimana Kementerian Agama dapat uang?Kalo untuk pembiayaan madrasah pasti habis, ujungnya gak akan ada yang balik" .
Yunahar juga menambahkan, berbeda halnya jika Kemenag mendapat dana hibah yang berasal dari Bank Dunia, IDB, negeri Jepang dan negeri kaya yang lain. Maka kita tidak perlu membayar kembali hibah itu. Namun demikian Yunahar mengakui Kemenag memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas madrasah, namun seharusnya dana tersebut cukup berasal dari APBN saja. (Republika, 20/06/2019).
Dikutip dari Republika.co.id,(26/6/2019). Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah mengatakan tidak setuju membangun madrasah dengan meminjam uang ke Bank Dunia. Sebab masih ada dana lain yang bisa digali dan dimanfaatkan. Tentu ini harus menjadi perhatian kita bersama. Karena dalam demokrasi, utang memiliki peran penting dalam mekanisme ekonomi kapitalisme.
Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara dan negara bertanggung jawab untuk menyediakan sarana dan prasarana serta perangkat pembelajarannya. Oleh karena itu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Negara wajib mengupayakan ketersediaan anggaran di sektor pendidikan dan tidak mengambil jalan pintas dengan berutang.
Kapitalisme yang saat ini dijadikan sebagai asas perekonomian setiap bangsa memang tegak dengan prinsip utang. Negara-negara maju gemar sekali memberikan utang kepada negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Dan Indonesia dengan senang hati menerima tawaran pemberian utang tanpa menelaah dampak dari pemberian utang tersebut.
Utang yang diberikan negara kapitalis(World Bank) berpijak pada aktivitas ribawi, maka konsekuensinya Indonesia membayar utang pokoknya dan bunga utang yang begitu besar. Riba adalah aktivitas yang diharamkan Allah (QS. Al Baqarah :275-279, QS Al Imron: 130, QS Ar rum 39, dll). Masih ingat dengan istilah "No free lunch", tidak ada makan siang yang gratis. Maknanya adalah setiap bantuan pinjaman utang dari negara kapitalis ada misi tersembunyi.
Yaitu negara kapitalis dapat dengan mudah mengintervensi segala kebijakan di negeri ini. Dalam hal ini, intervensi dunia pendidikan bisa berupa memasukan kurikulum "pesanan" internasional, pengadaan sekolah dan pengajar asing, komersialisasi pendidikan dll.
Di samping itu utang adalah jebakan negara kapitalis untuk melemahkan dan menjajah negera-negara berkembang. Penjajahan yang dimaksud bukanlah menduduki sebuah negeri dengan kekuatan militer, namun penjajahan gaya baru. Yaitu melemahkan ekonomi suatu negara dengan memberikan pinjaman disertai bunga yang tinggi.
Ketika negara tersebut tidak dapat membayarkan utang dan bunganya, maka bersiaplah segala infrastruktur diambil alih dan dikuasai oleh mereka. Banyak negara negara berkembang mengalami hal ini.
Salah satu pilar peradaban adalah pendidikan yang terus berinovasi sesuai dengan perkembangan zaman. Namun hal itu tidaklah ditempuh dengan berutang/menerima bantuan dari negara lain.
Islam memberikan solusi, anggaran biaya di sektor pendidikan diambil dari pendapatan negara berupa khatam dan gak( berupa: jizyah, kharaj, gak, dharibah), serta pendapatan yang berasal dari kepemilikan umum ( minyak bumi, gas alam, barang tambang, hasil laut, Padang gembalaan dll(kitab Ajhizah Daulah Khilafah, hal 238).
Dari pendapatan inilah negara mengatur anggaran biaya di sektor pendidikan. Sehingga tidak heran, kaum muslimin dapat dengan mudah mengakses pendidikan tingkat dasar hingga universitas. Ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah ilmuwan dan ulama di masa pemerintahan Islam dan peradaban literasi yang mereka bangun dapat dirasakan manfaatnya hingga saat ini.
Dengan demikian, sepatutnya kita membatalkan berbagai utang/pinjaman negara luar negeri. Negara wajib berusaha dengan maksimal menyediakan anggaran di sektor pendidikan dengan menggunakan pendapatan negara yang berasal dari pengolahan sumber daya alam yang ada. Wallahu'alam bisshowab.