Oleh: Sriyanti
Ibu Rumah Tangga di Bandung
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan program peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Bank Dunia. Bank Dunia kemudian sepakat untuk memberikan pinjaman senilai Rp 3,7 triliun. Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin mengatakan, anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar, "Manfaat itu bahkan menyasar hingga 50.000 madrasah, kita ingin membangun sistem." Kata Kamaruddin dikutip dari laman resmi Kemenag (Republika.co.id, Selasa, 25/06/2019)
Ia berpendapat bahwa pendidikan Islam di Indonesia saat ini merupakan pendidikan yang paling modern di dunia. Melalui Islam inilah karakter keragaman masyarakat Indonesia yang toleran dan moderat dibentuk. Namun akhir-akhir ini pendidikan Islam Indonesia menurutnya tengah menghadapi tantangan pemahaman keagamaan yang datang dari luar, khususnya pemahaman yang radikal dan ekstrim. Pemahaman keagamaan tersebut mulai mencoba memasuki pendidikan Islam. Hal ini adalah kosekuensi dari adanya globalisasi dan perkembangan teknologi informasi. Maka untuk mengatasinya, pemerintah melalui Kementerian Agama tengah gencar mempromosikan modernisasi beragama, yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstrimisme.
Rencana pemerintah untuk menambah utang luar negeri ini seharusnya perlu dicermati dengan kritis. Sebagai negeri yang mayoritas masyarakatnya muslim, menginginkan negeri ini maju dan mandiri adalah sesuatu yang wajib diupayakan. Namun tentu bukanlah dengan cara mengutang. Utang luar negeri dengan sistem riba adalah suatu keharaman yang harus kita hindari yang sudah barang tentu dibenci oleh Allah. Selain itu juga akan menimbulkan kemudharatan baik jangka panjang maupun jangka pendek, terlihat ataupun tersembunyi. Perlu disadari utang luar negeri merupakan alat penjajahan, dalam hal ini penjajahan di bidang pendidikan, no free lunch. Sebagai negara yang berdaulat hendaknya harus menegakkan kedaulatan dengan penanganan masalah utang luar negeri jika Indonesia ingin terlepas dari cengkeraman neoliberalisme yang merusak. Membangun madrasah dari hasil utang luar negeri, sama saja dengan menggadaikan generasi muslim ke tangan penjajah, padahal sektor pendidikan adalah salah satu pilar peradaban yang merupakan tanggungjawab pemerintah. Mekanisasi pengurusannya tidak boleh dipindah tangankan apalagi kepada pihak asing.
Hal ini pun menuai banyak pendapat seperti, pengamat pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah yang tidak setuju dengan kerjasama tersebut, karena menurutnya masih banyak dana lain yang masih bisa digunakan selain dari Bank Dunia, diantaranya dana yang dipakai koruptor yang sudah dikembalikan karena sudah terbukti bersalah dan dipenjara misalnya. (Republika.co.id, Selasa, 25/06/2019)
Begitu pula menurut Ketua Pemimpin Pusat (PP) Muhamadiyah, Yuhanar Ilyas yang mempertanyakan, darimana kelak uang yang dipakai untuk membayar pinjaman dari Bank Dunia tersebut.
Sementara kekhawatiran sebagian pihak terkait dengan adanya narasi radikalisme dan ekstrimisme di tubuh kaum muslimin yang menjadikan mereka merasa berkepentingan untuk mengkonternya dengan meluaskan pemahaman Islam moderat sesungguhnya adalah lagu lama yang senantiasa diputar dalam menghentikan laju dakwah pemahaman Islam Kaffah. Sementara Allah dalam salah satu ayat telah jelas-jelas mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk ber-Islam secara kaffah/menyeluruh (Q.S al-Baqarah: 208).
Dalam pandangan Islam, adalah kewajiban negara untuk mengatur segala aspek terkait dengan sistem pendidikan yang akan diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran dan bahan-bahan ajarannya saja, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah Saw bersabda:
"Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya," (HR al-Bukhari dan Muslim)
Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik, yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, labolatoruim, internet dan lain sebagainya. Sarana pendidikan dalam rangka mencerdaskan umat, menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya dan merupakan hak mendasar bagi warga negara.
Dahulu ketika sistem pendidikan Islam diterapkan, negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi warga negara yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kesejahteraan dan gaji pendidik pun sangat diperhatikan dan merupakan beban negara. Semua dana yang digunakan untuk pembiayaan tersebut berasal dari kas baitul mal, yang bersumber dari kepemilikan negara seperti: ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah dan dharibah (pajak). Serta dari kepemilikan umum seperti hasil dari sumber daya alam. Adapun dharibah (pajak) hanya akan dipungut apabila keadaan darurat, ketika kas di Baitul mal tidak bisa mencukupi. Semua pendapatan tersebut dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Sejarah telah mencatat keberhasilan sistem pendidikan Islam mampu mencetak generasi berkualitas di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan berkepribadian Islam, untuk itu solusi tuntas segala permasalanan termasuk sistem pendidikan adalah mencampakkan sistem kapitalis sekuler yang saat ini eksis dan menggantinya dengan menerapkan Islam secara menyeluruh dalam bingkai khilafah yang mengikuti metode kenabian.
Waallahu a'lam bi ash-shawab