Oleh Lulu Nugroho*
Masa Orientasi Siswa (MOS) atau Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPD) atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) merupakan sebuah kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah setiap awal tahun ajaran. Yaitu untuk menyambut kedatangan para peserta didik baru. Namun, alih-alih disambut dengan hal yang menyenangkan, para siswa baru malah menderita karenanya.
MOS menjadi 'mimpi buruk', tidak hanya bagi siswa tapi juga orangtua. Betapa tidak, fisik dan psikis siswa baru 'dihabisi' demi membentuk ketahanan mental. Mereka pun tak luput dari berbagai atribut aneh yang menghina dan merendahkan. Hingga muncul asumsi bahwa MOS seolah memfasilitasi bullying atau perundungan.
Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi pada WJ (14), siswa SMA Militer Plus Taruna Indonesia di Palembang yang diduga menjadi korban penganiayaan saat MOS. Ia dikabarkan meninggal dunia, Jumat (19/7/2019) sekitar pukul 20.00 WIB. Korban WJ sebelumnya menjalani perawatan intensif selama enam hari di rumah sakit.(Tribunnews.com, 20/7/2019).
Padahal belum lama ini terjadi di tempat yang sama, yaitu ketika Dinas Pendidikan Sumatera Selatan (Sumsel) dikabarkan telah menyelesaikan investigasi kasus meninggalnya siswa SMA Taruna, DB (14). Disebutkan, korban sempat mengeluh sakit mag saat hari terakhir sebelum tewas.Setelah kegiatan MOS dilanjutkan, tiba-tiba korban berteriak dan mengeluh sakit di badannya.
Korban kejang-kejang dan akhirnya meninggal dunia di RS Myria, Palembang, pada Sabtu (13/7) dini hari. (Detiknews.com, 15/7/2019). Hasil pemeriksaan visum luar RS Bhayangkara Palembang menyatakan adanya tanda luka memar di bagian kepala dan kaki DB. Saat diperiksa visum dalam juga memang resapan darah di kepala. Berarti ada benturan kuat di kepala. Di dada juga ada," ujar dokter forensik RS Bhayangkara Palembang Indra Sakti, Sabtu (13/7/2019) dikutip dari Kompas.com.
MOS menjadi pro dan kontra. Yang pro menganggap bahwa MOS sebagai ajang positif bagi peserta didik yang baru memasuki lingkungan baru. Tujuannya agar siswa mengenal sekolahnya, hingga menumbuhkan cinta almamater. Yang kontra, tidak setuju sebab MOS menjadi ajang para senior mengerjai adik-adik kelasnya.
MOS dikenal juga sebagai perploncoan, telah ada sejak kolonial Belanda. Sebagai warisan penjajahan, seharusnya MOS tidak relevan lagi untuk saat sekarang. Apalagi tujuan utama MOS tidak tercapai secara optimal. Membentuk mental berani dan menumbuhkan cinta almamater, tidak akan didapat dari menindas siswa baru.
Peristiwa meninggalnya siswa baru di Palembang, adalah bukti bahwa MOS masih menjadi ajang senioritas. Hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan insiden meninggalnya siswa saat MOS di Palembang itu sudah masuk ranah pidana. Karena itu, dia menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut kepada polisi. (Detiknews,16/7/2019).
Oleh sebab itu, tidak perlu lagi ada MOS. Aktivitas sisa feodalisme, seharusnya tidak menjadi rujukan kaum muslim. Bukan saja tidak berpahala, sebab tidak diperintahkan Allah dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Tapi juga sangat besar sisi kebahayaannya. Islam telah memiliki mekanisme yang luar biasa, yang tidak mampu ditandingi pemikiran manapun.
Dalam Islam jelas bahwa membentuk kepribadian yang mulia adalah dengan membentuk pola sikap (nafsiyah) dan pola pikir Islam (aqliyah). Darinya akan lahir pribadi takwa yang cinta pada agamanya. Generasi yang seperti ini dipastikan akan menjadi manusia mulia, aktivitasnya terukur hanya untuk mendapat rida Allah.
Dengan penanaman akidah dan tsaqofah Islam, maka dengan mudah, ia akan selalu mengarahkan pandangannya pada segala hal baik yang datangnya dari Allah. Baik itu melalui materi pelajaran, para guru, lingkungan sekolah, metode belajar dan lain sebagainya. Pembentukan yang seperti inilah yang akan melahirkan generasi yang mampu menaklukkan dunia. Itulah sebaik-baik generasi yang pernah ada di muka bumi. Wallahu 'alam.
*Muslimah Penulis Cirebon