Oleh: Ummu Ainyssa*
Marah, kesal, sedih, heran itulah yang dirasakan oleh beberapa orangtua dari korban pelecehan seksual oleh mantan guru Jakarta International School (JIS) sekarang Jakarta Intercultural School Neil Bantleman. Salah satunya adalah Theresia Pipit Widowati. Pasalnya Neil sang pelaku sudah bisa menghirup udara bebas sejak 21 Juni 2019 lalu karena mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Neil adalah salah satu terpidana kasus sodomi pada tahun 2014 terhadap anak yang waktu itu masih duduk di Taman Kanak-kanak. Salah satu korban tersebut adalah inisial M anak dari Theresia Pipit. Neil divonis bersalah dan dihukum 10 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Putusan ini sempat dibatalkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Agustus 2015. Namun Neil kembali dipenjara karena pada Februari 2016, Mahkamah Agung memutuskan Neil bersalah. Hukumannya bahkan diperberat menjadi 11 tahun. Yang disayangkan adalah saat baru memasuki hukuman 5 tahun, Neil justru malah dibebaskan karena mendapat grasi dari bapak Presiden.
Seperti yang dijelaskan oleh Kabag Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Ham Ade Kusmanto, grasi yang diberikan Jokowi tersebut tertuang dalam Keppres No. 13/G Tahun 2019 yang diteken pada 19 Juni lalu. Berdasarkan Keppres tersebut, hukuman mantan guru JIS itu berkurang dari 11 tahun menjadi 5 tahun dan denda Rp 100 juta.
"Sudah bebas dari Lapas Kelas 1 Cipinang tanggal 21 Juni 2019. Dendanya juga sudah dibayarkan" ucap Ade. (CNNIndonesia, Sabtu 13/7/2019). Pemberian grasi ini sungguh sangat memukul perasaan dari keluarga korban. Di saat keluarga korban belum bisa melupakan apa yang terjadi pada anaknya, justru pelaku malah dibiarkan bebas berkeliaran.
Bukan hanya tidak adil bagi keluarga korban, tapi ini juga bisa menjadi citra buruk bagi penegakan hukum di negeri ini. Bahkan yang membuat Theresia kaget karena dia tidak pernah diberi kabar apapun tentang pemberian grasi ini, ia mengetahuinya dari media luar negeri, CBC.
"Kami berhak tahu sebagai keluarga korban. Kenapa itu dikasih, dia kan monster. Jangan dianggap karena sudah dipulangkan ke Kanada dia tidak akan kembali ke Indonesia. Tapi nama baik kita? Harus ada pemberitaan resmi dikeluarkan grasi karena apa? Karena kelakuan baik atau dia mengakui perbuatannya, itu akan membuat nama baik kami clear". Ungkap Theresia seperti yang dilansir oleh tirto.id (16 Juli 2019)
Masih dari sumber yang sama, menanggapi pertanyaan tersebut, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebut beberapa hal: "Saya pikir persoalan kemanusiaan yang menjadi utama, yang kedua juga karena suara publik, karena presiden sangat sensitif mendengar suara publik" katanya Senin (15/7/2019).
Pemberian grasi ini pun juga disesalkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Menurut anggota KPAI Putu Elvina pemberian grasi ini menjadi lembaran hitam terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Sekaligus bertolak belakang dengan upaya pemerintah melakukan perlindungan anak-anak dari kekerasan seksual.
"Ini masih menjadi lembaran hitam upaya perlindungan anak" kata Putu saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Jumat (12/7). Sesungguhnya semua masalah ini tidak terlepas dari buruknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi yang diterapkan negeri ini tidaklah memihak pada kebenaran, melainkan hanya memihak pada orang-orang yang punya kuasa.
Perlindungan yang seharusnya serius terhadap anak-anak yang akan menjadi aset generasi malah diabaikan. Tidak ada hukum yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku. Yang ada malah pelaku kerap kali mengulangi perbuatannya. Sementara di dalam Islam hukum yang diterapkan sangatlah adil dan juga membuat jera pelakunya.
Selain penanaman akidah yang kuat sejak dini, kontrol masyarakat, juga adanya peran negara yang akan menerapkan sanksi untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual tersebut. Islam tidaklah menyetujui selera rendahan ala binatang seperti pedofilia, lesbian, biseksual, transgender dan hukumnya haram dalam Islam. Semua perbuatan ini dinilai sebagai tindak kejahatan/kriminal (al jarimah) yang harus dihukum. (Abdurrahman Al Maliki, Nizham Al Uqubat, hal.21)
Dalam Islam pelaku kejahatan seksual masuk dalam perbuatan liwath yang hukumannya adalah mati. Abu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat (ijma') seluruh ulama mengenai haramnya liwath (ajma'a ahlul 'ilmi 'ala tahrim al liwath). (Ibnj Qudamah, Al-Mughni, 12/348)
Tidak ada khilafiyah di antara para fuqoha khususnya sahabat Nabi Saw seperti yang dinyatakan oleh qadhi Iyadh dalam kitabnya Al-Syifa. Sabda Nabi Saw "Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya" (HR Al Khamsah, kecuali an-Nasai).
Hanya saja para sahabat Nabi berbeda pendapat mengenai teknis hukuman matinya. Menurut Ali bin Abi Thalib, haruslah dibakar dengan api. Menurut Ibnu Abbas RA, dengan cara di cari dulu bangunan yang tertinggi di suatu tempat, lalu dijatuhkan dari tempat itu dengan kepala di bawah, setelah sampai ke tanah dilempari dengan batu. Sementara menurut Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, pelaku pedhofil di hukum dengan cara ditimpakan dinding tembok sampai mati.
Sekalipun para sahabat berbeda tentang caranya, akan tetapi semuanya sepakat wajib di hukum mati. Inilah hukum Islam terhadap para pelaku pedofilia. Dengan sanksi tegas itulah yang akan membuat pelaku menjadi jera. Sementara bagi yang belum melakukan akan merasa takut dengan beratnya hukum yang diterapkan.
Semua hukum itu hanya bisa diterapkan oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah yakni dalam bingkai Khilafah ala minhaj nubuwwah. Wallahu a'lam bi shawwab.
*Member Akademi Menulis Kreatif