Indonesia jangan mau jadi budak G20 (lagi)!!!




Oleh : Ayu W

Sengitnya perseteruan dagang antara negeri Cina dan Amerika kini mulai memanas. Dimulai dari kebijakan presiden Trump dengan menaikkan tarif pajak impor oleh AS yang akan dibalas sengit oleh China. Meskipun China punya sejumlah pilihan untuk mengacaukan perdagangan, namun pilihan itu secara ekonomi dan politik bisa merugikan dan tidak ada jaminan akan berhasil. Tarif pembalasan pertama China bertujuan melemahkan Trump secara politis dengan menarget negara-negara bagian pertanian yang mendukungnya dalam pemilu 2016. Tidak terpengaruh, Trump menaikkan lagi bea impor China yang dibalas Beijing dengan menghantam produsen.

Perseteruan ini ditanggapi oleh kelompok G20. Berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingan-kepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% produk nasional bruto (PNB, GNP) dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia.

Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.

Khusus tahun ini, KTT G20 tengah berlangsung di Osaka, Jepang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) berangkat ke negeri Sakura, Kamis (27/6) malam untuk bertemu dengan pemimpin negara lain di KTT G20. Hasil dari pertemuan KTT G20 adalah kerjasama antara Indonesia dengan China akan semakin mesra. Hal ini tercermin usai kedua pimpinan negara mengadakan pertemuan bilateral di acara tersebut. 

Hal tersebut diungkap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam CNN Indonesia usai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Retno mengatakan kedua negara membicarakan langkah-langkah yang mungkin dilakukan untuk saling meningkatkan nilai perdagangan sekaligus memperkecil defisit dagang antara Indonesia dan China. 

Salah satunya hubungan dagang pada komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oils/CPO) yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia ke China. "Tadi dibahas juga bahwa tahun lalu impor China terhadap CPO Indonesia sudah melampaui angka satu juta ton, yang berarti sudah lebih dari angka yang dijanjikan Presiden Xi sebelumnya," ucap Retno dalam keterangan tertulis. Kemudian, sambung Retno, Xi kembali mengundang Indonesia agar kembali berpartisipasi dalam pameran perdagangan berskala internasional di Negeri Tirai Bambu tersebut, yaiti China International Import Expo (CIIE). Sebab, Indonesia sudah berpartisipasi dalam pameran tersebut pada tahun lalu.

Apa untungnya untuk Indonesia?

Hasil dari KTT G20 adalah kerjasama negara produsen dengan negara konsumen. Negara produsen adalah Amerika, China, Jepang dan uni Eropa. sayangnya Indonesia adalah negara konsumen. Dimana posisi Indonesia mengharuskan taat dan patuh terhadap hasi KTT tersebut. Ditambah Indonesia adalah satu-satunya Negara Asia tenggara yang ikut dalam KTT G20.

Ironis, bukan keuntungan yang diperoleh tapi malah kebuntungan ditambah dengan ancaman dari negara- Negara produsen.
Dampak dari pertemuan ini akan mendorong semakin gencarnya barang barang China menyerbu pasar Indonesia. Yang akan semakin lemahnya produsen dalam negeri. 
Dampak panjang adalah lesunya perekonomian nasional yang diikuti oleh masalah sosial politik.

Bagaimana Islam mengatur kerjasama luar negeri

Islam memiliki konsep yang khas dalam masalah politik internasional, dan kerangka politik internasional ini inheren dalam sistem Islam yang utuh pada sistem negara Islam (Khilafah Islam). Karena politik internasional atau politik luar negeri adalah bagian dari politik Islam, dan politik Islam adalah bagian dari sistem Negara Islam (Khilafah Islam). Sehingga dalam kerangka inilah kita berbicara politik luar negeri Islam, bukan dalam konteks politik luar negeri negara-negara Muslim yang saat ini ada, karena mereka tidak menerapkan Islam secara utuh dalam sistem kenegaraannya.

Perdagangan 

Kerjasam dengan luar negeri dalam negara Islam akan dicurahkan untuk memperkuat stabilitas politik ekonomi sosial dan dakwah Islam. Oleh karena itu, negara akan berhati-hati dalam melakukan kerjasama dengan negara lain. Jika kerjasama itu jelas merugikan pihak daulah maka akan segera dilakukan penghentian. Dan akan dilakukan pengecekan ulang terhadap status negara tadi. Apakah berbahaya atau tidak bagi daulah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak