Iklan Rokok Bukanlah Pokok



Oleh: Rizka Agnia Ibrahim

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menilai internet di Indonesia belum layak anak karena masih ada iklan rokok yang mudah diakses dan dilihat anak-anak.

“Sebagai contoh, salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak adalah tidak ada iklan, promosi, dan sponsor rokok. Bila masih ada iklan rokok, berarti internet di Indonesia belum layak anak,” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N. Rosalin, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/6/2019)

Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan keseriusan pemerintah memblokir iklan rokok di kanal-kanal media sosial guna mencegah peningkatan jumlah perokok pemula yang menyasar anak-anak. “Sudah 114 yang ditutup, tapi harus kerja sama dengan Kemenkes. Nanti kita akan lanjutkan,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima di jakarta, Selasa (18/6/2019)

Menurut Rudiantara, dalam undang-undang tentang pelarangan penyiaran, yang diatur adalah soal yang bertentangan dengan nilai agama dan eksploitasi anak di bawah 18 tahun. Padahal kata Rudi, dalam dunia maya, tidak gampang untuk memastikan pemilik akun benar-benar sudah berusia 18 tahun atau belum.

Apakah sudah cukup sekadar iklan rokok yang perlu diblokir? Tentu jawabannya, tidak. Iklan rokok adalah buah dari ide sekularisme yang menanamkan kebebasan. Bagaimana dengan konten-konten lain yang luar biasa agresif di setiap aplikasi, bahkan lebih sulit untuk tersingkir? Memang iklan rokok bisa memberikan pengaruh berbahaya, namun itu bukanlah hal pokok yang menjadi satu-satunya momok perusak generasi digital hari ini. 

Pola perilaku mengakses internet pada anak memang semakin tak terkendali, selain karena kemudahan sarana gawai yang semakin terjangkau, pengawasan dan aturan dari orang tua yang semakin permisif, minimnya pengetahuan orang dewasa terutama orang tua tentang literasi media. Padahal anak-anak masih ada dalam fase pembentukan. Mereka belum cukup matang untuk memfilter segala informasi, termasuk konten negatif di internet. Ada muatan-muatan yang lebih berbahaya dan perlu penanganan serius agar generasi tidak semakin memiliki mental terpuruk. 

Anak-anak memberi tanggapan terhadap internet sebagai entitas magis yang bisa memberikan jawaban sempurna untuk rasa penasaran mereka, bahkan untuk hal tidak penting sekalipun. Namun, mereka tentu tidak paham dengan yang disebut privasi online, virus, phishing, etika bermedia sosial, masalah keamanan internet dan yang paling mengkhawatirkan adalah konten-konten dewasa yang mudah sekali muncul, bahkan ketika tengah tidak diakses sekalipun. Bukan sekadar agresif tapi menyebar dengan murah, mudah, bahkan menjadi lumrah. Lihat saja di aplikasi yang rentan iklan, kerap kali muncul gambar yang tidak diinginkan.

Tak hanya konten dewasa yang berbahaya, tapi pemahaman-pemahaman sekuler, plural, dan liberal, kian rentan meracuni pemikiran generasi. Diakibatkan karena modernisasi di segala bidang, terutama dalam tontonan digital, melahirkan pemahaman-pemahaman kebebasan yang membahayakan. Di mana agama tidak dilibatkan mengurusi kehidupan. Padahal agama adalah pedoman yang menjadi filter dari setiap perbuatan. Halal-haram, pahala-dosa, adalah seutama-utama pijakan yang akan menyelamatkan.  

Lahirlah kasus-kasus kemaksiatan yang merajalela. Bisa kita lihat hari ini bagaimana tayangan internet memberi dampak besar untuk kelahiran generasi LGBTQ yang begitu pesat, cikal bakal menyebarnya virus HIV yang mematikan. Bukankah ini jauh lebih berbahaya dari iklan rokok? Bagaimana konten pornografi, pornoaksi, berita-berita kasus pemerkosaan, perzinaan, seks bebas, aborsi, pembunuhan, tidak melahirkan efek jera, bahkan banyak ditiru. Terbukti dengan meningkatnya kasus kriminal yang bermacam ragam. Internet layak anak tidaklah akan terwujud, selama negara tidak memperbaiki paradigma sekuler-demokrasi yang memberi lahan luas untuk kebebasan para individu, tanpa bingkai agama yang kokoh. Bahkan sampai detik ini negara belum mampu memblokade situs-situs porno secara integral.

Bagaimana kita bisa menyelesaikan problematika di era digital ini, agar pengaruhnya tidak membuat generasi semakin berjalan ke arah kerusakan mental dan perilaku yang menggila? Tentu jawabannya, hanya sistem Islam (Khilafah) satu-satunya yang bisa memberi solusi secara komprehensif untuk membuat problematika ini lepas dan tuntas. Khilafah memiliki tiga pilar, individu yang bertakwa, kontrol masyarakat terhadap kemaksiatan, dan negara menerapkan Islam secara menyeluruh. 

Khilafah menjaga warga negara, termasuk di dalamnya adalah anak-anak agar tidak terpengaruh ide kebebasan dari konten yang bertentangan dengan Akidah Islam. Khilafah dengan otomatis membentuk kekuatan dasar di dalam keluarga, awal lahirnya individu yang bertakwa adalah dari rumahnya. Orang tua harus mampu membentengi buah hati dalam penggunaan gawai, memahami secara serius kapan waktu yang tepat memberikan kebolehan mengakses internet, pelajari dari tiap segi, baik secara kesehatan karena penggunaan gawai ataupun aspek lain, pengaturan durasi sesuai usia, mendampingi juga mengontrol konten yang diakses anak, tingkatkan pemahaman akidah, bagaimana anak harus merasa diawasi oleh Allah.

Masyarakat pun secara otomatis, tidak akan membiarkan lingkungan nyata maupun maya, tercemari virus-virus negatif yang bisa melemahkan generasi seperti saat ini. Masyarakat di dalam sistem Islam tentu tak akan tinggal diam menyikapi perilaku menyimpang, mereka memiliki porsi penting dan berhak melaporkan kepada penguasa (khalifah) apabila terjadi pelanggaran hukum syara. Dan khalifah akan memberi sanksi yang tegas untuk pelaku pelanggaran hukum syara.

Di dalam sistem  Islam, antara individu, masyarakat, dan negara menjadi satu kesatuan yang saling mengikat negara merupakan lembaga yang sangat penting menjaga akhlak masyarakat, termasuk melindungi generasi dari ancaman-ancaman virus sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) dan konten buruk lainnya yang bisa diakses dari internet. Perlu pergantian sistem yang fundamental, bukan sekadar revolusi mental. Niscaya generasi akan menjadi penerus estafet yang maksimal dengan kecemerlangan fungsi akal. Maka tinggalkanlah sistem sekuler-demokrasi, menuju Khilafah pengemban Islam kafah yang hakiki.

Wallahu a’lam

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak