Ide Penghapusan MAPEL Agama di Sekolah : Ide Sekuler Absurd Untuk Halangi Kebangkitan Umat



Oleh : Arif Susiliyawati, S.Hum


 Beberapa waktu lalu pernyataan praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darmono menuai respon dan polemik di tengah-tengah kaum Muslimin. Bagaimana tidak?! Bapak Darmono diberitakan menyarankan Presiden Joko Widodo untuk menghapus pelajaran agama dari kurikulum pendidikan sekolah. Ide ini kembali mencuat karena pelajaran agama dianggap memicu radikalisme. Beliau menganggap keanekaragaman dan nilai-nilai budayalah yang menyatukan bangsa ini, bukan identitas agama.

Ide penghapusan pelajaran agama ini bukan sekali ini saja mengemuka. Pada 2017 lalu, beredar isu bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berwacana menghapus pelajaran agama di sekolah. Di awal tahun 2019 isu ini kembali beredar walau tak lama segera diklarifikasi dan diklaim sebagai hoaks. Bagaimanapun juga, isu ini begitu sensitif di telinga umat. Tak aneh jika setiap kemunculannya, isu ini serta merta menuai kritik dan penolakan yang besar dari umat yang masih peduli akan urusan agamanya. 


Lagi, Agama (Islam) Dianggap Sebagai Biang Masalah

Munculnya ide penghapusan mapel agama dari sekolah ini bermula dari asumsi bahwa ajaran agama dapat memicu radikalisme. Istilah radikalisme, Islam radikal, atau Islam garis keras, Islam fundamentalis adalah istilah-istilah peyoratif yang belakangan sering dialamatkan pada sekelompok kaum muslimin yang diklaim menganut paham keagamaan ekstrim, sebagaimana Bapak Darmono juga sebutkan dalam pernyataannya. Standar kenormalan atau keekstriman agama ini mengacu pada dokumen RC (Rand Corporation) berjudul “Building Moderate Muslim Networks”, dan “Civil Democratic Islam—Partners, Resources and Strategies” (2007) yang disusun oleh lembaga pengkajian (think-thank) AS. Rekomendasi RAND ini mengkotak-kotakkan kaum muslimin ke dalam 4 golongan (fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekular). Pengelompokkan ini diada-adakan untuk menciptakan Islam yang cocok untuk kepentingan dan agenda Barat dan memecah-belah kaum muslimin. Ini tidaklah aneh karena ajaran Islam sebagai rahmatan lil a’alamin menolak segala bentuk penjajahan, dan syari’at islam menutup setiap celah bagi kaum kafir untuk menguasai orang-orang mukmin (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141). Dari sini jelaslah, asumsi ada kelompok atau ajaran agama yang ekstrim sebenarnya membebek pada rekomendasi RAND tersebut. 

Pengelompokkan kaum muslimin semacam itu bukan berdasar pada tuntunan Al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan pada kepentingan negara kafir. Standar ini tidak layak diadopsi oleh siapapun untuk menilai ajaran Islam maupun kaum Muslimin. Dalam Islam, pemahaman seseorang dipandang benar atau Islami selama berlandaskan dalil-dali syara’ dengan penafsiran yang benar. Apa saja yang Allah dan Rasul-Nya anggap benar, maka itu benar walau semua manusia mengingkari. Sebaliknya, semua yang tidak bersandar pada dalil syara’ tidak mengandung kebenaran walaupun semua manusia membenarkannya. Mengikuti standar RAND tentang ajaran Islam juga berbahaya bagi aqidah umat karena itu berarti ajaran agama Islam harus disesuaikan dengan kriteria Islam yang dimaui Barat, yakni yang tidak mengancam kepentingan negara kafir.  

Tidaklah aneh jika hari ini kita dengar banyak ajaran Islam dilabeli radikal, sementara di sisi lain seruan-seruan Islam moderat dan sekular semakin menggema. Istilah jihad direduksi dari perang melawan negara kafir yang secara fisik menghalangi dakwah atau menzalimi kaum Muslimin, menjadi sebatas jihad melawan hawa nafsu; sistem pemerintahan Islam Khilafah dikatakan radikal dan pemecah belah NKRI, sampai gelombang hijrah di tengah kaum muslimin pun ikut disinyalir pemicu radikalisme. Sementara itu, muncul seruan kembali ke busana nusantara karena hijab syar’i perintah Allah dianggap budaya Arab, tolak pemimpin kafir dianggap intoleran, tapi perilaku LGBT malah katanya harus dihormati. Allah berfirman, “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 42). Allah Dzat satu-satunya yang mengetahui hakikat kebenaran. Bukankah absurd jika kebenaran Islam diukur menurut kacamata orang kafir yang buta akan keagungan Islam?! 


Identitas Agama (Islam) Mengancam Persatuan?

Penghapusan mapel agama dari kurikulum sekolah ini diusulkan juga karena identitas agama dianggap membuat persatuan bangsa rentan akan perpecahan. Asumsi ini tentu saja absurd dan tidak faktual, apalagi jika berkaitan dengan Islam. Diasumsikan bahwa ketika masyarakat diatur dengan syariat Islam, intoleransi, diskriminasi dan pemaksaan beragama akan terjadi secara masif terhadap kelompok masyarakat non-muslim. Fakta sejarah yang diungkap para sejarahwan justru menunjukkan peradaban Islam selama era kekhilafahan Islam mampu menjaga persatuan di tengah pluralitas. Karen Armtrong, seorang mantan biarawati sekaligus penulis dalam penelitiannya memuji kehidupan beragama yang ada dalam negara Khilafah. Dalam negara Khilafah, agama selain Islam mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Bahkan menurut Karen Amstrong, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. Dalam bukunya, T.W. Arnold , seorang orientalis dan sejarahwan Kristen, juga memuji kerukunan beragama dalam negara Khilafah. Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani--selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani--telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa)"(The Preaching of Islam : A History of Propagation Of The Muslim Faith,1896,hlm. 134). 

Asumsi negatif terhadap Islam ini kian membekas di benak umat sejak Barat meluncurkan Global War on Terrorism yang menghembuskan Islamophobia. Hal ini semakin diperparah dengan kebodohan kaum muslimin tentang keseluruhan syariat agamanya sendiri. Akibatnya, tidak sedikit kaum muslimin yang gagal paham akan syari’at Islam dan takut pada penerapannya. Ketakutan itu jelas tidak berdasar karena Rasulullah sendiri pernah menjamin keselamatan non-muslim dengan bersabda, "Barang siapa menyakiti Kafir Dzimmi, Maka aku akan menjadi lawannya di hari kiamat" (HR.Muslim). 

Sebaliknya, berbagai intoleransi, diskriminasi, ketidakadilan, pembantaian, dan perpecahan hari ini justru marak terjadi menimpa kaum muslimin akibat ketidakmampuan ikatan nasionalisme dan hukum buatan manusia menjaga persatuan dan menjamin keadilan, keamanan, dan kesejahteraan  di tengah masyarakat yang heterogen. Tengok saja kondisi Muslim di Palestina yang meregang nyawa mempertahankan tanah kaum Muslimin dari Israel selama puluhan tahun, Di Suriah hampir setiap hari korban berjatuhan akibat serangan udara rezim Assad dengan bantuan Rusia. Muslim Rohingya dibantai dan diusir dari tanah kelahiran mereka hanya karena identitas keislamannya. Muslim Uyghur didiskriminasi, dibatasi hak beragamanya, diperlakukan bagai pelaku kriminal dan dikurung dalam kamp konsentrasi hingga dipisahkan dari keluarganya. Di negeri berpenduduk Muslim terbesar ini, Muslim yang mendakwahkan ajaran Islam dan kewajiban penerapannya malah dicap intoleran radikal, anti-pancasila, pemecah-belah, ulama dan pengajiannya pun dipersekusi. Peradaban Islam dalam naungan Khilafah menjadi bukti nyata bahwa identitas agama (Islam) mampu menjaga persatuan dan mengayomi keberagaman. 


Bukan Ajaran Agama, Sekulerismelah biang masalah

Akibat sekulerisme, kaum muslimin tidak mengenal syariat agamanya secara sempurna. Ini membuat kaum Muslimin asing dengan banyak bagian dari syari’at agamanya sendiri. Keawaman (jika tidak mau disebut kebodohan) kaum Muslimin akan agamanya sendiri ini membuat tidak dipakainya pola pikir Islam dalam menyelesaikan masalah. Kaum muslimin malah menganggap berlepas diri dari aturan agama menyelesaikan masalah dan membawa perubahan ke arah lebih baik. Maka, tidak aneh ada cendekiawan seperti Bapak darmono yang akhirnya mengeluarkan gagasan sekuler agar negara tidak mengurusi pendidikan agama rakyatnya. Padahal semakin berlepas dari aturan agamadan menggunakan aturan buatan manusia yang cacat, lemah, dan terbatas pengetahuannya, masyarakat semakin rusak, sakit, mundur dan terbelakang. Faktanya begitu gambling dan banyak ditemukan di negara-negara sekuler hari ini.

Dalam Islam, pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara yang harus disediakan negara dalam kualitas terbaik. Sistem pendidikan negara berlandaskan aqidah Islam dan bertujuan mencetak individu-individu yang berpola pikir Islam dan berpola sikap Islam.  Satu-satunya jalan kebangkitan umat hanyalah dengan mencampakkan sekulerisme dan kembali mengamalkan dan menerapkan ajaran Islam dan syariatnya secara kaffah (menyeluruh). Tidaklah muncul kesadaran dan pemahaman akan wajib dan pentingnya perkara ini, kecuali saat umat mempelajari Islam dan kelengkapan sistem aturannya. Maka, saran penghapusan mapel agama jelas harus ditolak keras karena itu nyata-nyata upaya sekularisasi total, menjauhkan kaum muslimin dari kunci kebangkitannya.

Wallahu a’lam.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak