Oleh : Tri Silvia*
.
.
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat digegerkan dengan adanya praktik human trafficking atau perdagangan manusia atas WNI (warga negara Indonesia) di China melalui jalan pengantin pesanan. Human trafficking diketahui merupakan praktik lama yang telah menelan banyak korban. Keberadaan praktik tersebut telah diakui sendiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Ia pun telah secara langsung menghubungi Duta Besar China di Jakarta untuk mengonfirmasi adanya dugaan human trafficking yang dimaksud. (Kompas.com, 19/7/2019)
.
Tindakan yang dilakukan ibu Menteri menjadi salah satu usaha untuk menyelesaikan masalah perdagangan manusia ini. Namun sayangnya, usaha tersebut justru mengalami kebuntuan. Perbedaan pandangan dan kepentingan terkait masalah yang terjadi menjadi poin utamanya. Indonesia dengan fakta-fakta yang ada menegaskan bahwa telah terjadi human trafficking atau perdagangan manusia atas WNI di negeri ginseng itu. Adapun pihak China, justru hanya menganggapnya sebagai masalah keluarga, bukan yang lainnya. Alhasil, tak ada kesimpulan dan solusi yang ditelurkan dari pertemuan yang telah dilaksanakan.
.
Inilah yang terjadi kala otak manusia dijadikan rujukan untuk berbagai masalah yang bermunculan. Tak ada standar pasti untuk menetapkan benar atau salah. Begitupula dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan, selalu ada revisi dan pengembangan atasnya di setiap zaman. Apalagi jika bicara tentang solusi permasalahan, tak ada sumber pasti untuk segera menyelesaikannya. Alhasil, Pemerintah harus bersikap kreatif untuk mengakali masalah yang terjadi, walaupun faktanya solusi yang ditawarkan seringkali bertentangan dengan kebutuhan rakyatnya sendiri. Begitupula rakyat yang harus terus menerus terhimpit, mereka dipaksa pula untuk bersikap kreatif menghadapi solusi Pemerintah yang seringkali tidak masuk akal.
.
Sebagaimana yang terjadi pada masalah perdagangan manusia di atas, berbagai masalah lainnya pun seringkali mengalami kebuntuan. Sistem Kapitalis seakan mengiyakan pandangan bahwa semua negara memiliki hak untuk mengklaim sebuah kejahatan berdasarkan pandangan dan kepentingan negerinya sendiri, tanpa melihat lagi keadaan dan kondisi negara lainnya. Tidak ada kata lain dalam hal ini selain kepentingan politik pribadi.
.
Fakta-fakta di atas jauh berbeda dibanding dengan praktek hukum dan pemerintahan dalam sistem Islam. Islam mengajarkan keadilan dalam hukum, tanpa perbedaan pandangan atau kepentingan di dalamnya. Semua negeri yang ada dalam Daulah Islam harus tunduk dengan ketentuan syara', baik dalam standar halal haram, maupun standar benar atau salah. Semua berdasarkan hukum syara, tidak ada penentangan ataupun revisi atas hukum-hukum di dalamnya. Adapun negeri-negeri lainnya, mereka berkewajiban untuk menghormati dan menghargai apa yang ditetapkan oleh Daulah.
.
Terkait dengan praktik human trafficking, sebenarnya hal tersebut telah lama menjadi budaya di dunia. Hanya berbeda di istilah penyebutannya, yakni budak atau perbudakan. Praktik ini pun ada pada masa Rasulullah saw, dan Islam telah berusaha untuk menghapuskan praktek tersebut sedikit demi sedikit lewat penerapan hukum-hukumnya. Alhasil, perbudakan di zaman tersebut mengalami kemerosotan yang sangat tajam.
.
Adapun di zaman ini, berbagai tokoh dan regulasi pun terus bermunculan untuk hapuskan perbudakan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Meskipun demikian, namun perbudakan tetap saja ada, meskipun dengan wajah yang berbeda, yakni dalam bentuk perdagangan manusia.
.
Regulasi yang tepat tentunya sangat diperlukan untuk pengentasan masalah human trafficking atau perdagangan manusia ini. Namun, sistem pemerintahan yang tepat jauh lebih diperlukan dibanding dengan keberadaan regulasi di sistem sekuler saat ini.
Regulasi dalam sistem sekuler dibuat hanya berdasarkan akal dan pemikiran manusia, sehingga memungkinkan adanya perbedaan pandangan antara satu dengan yang lain. Belum lagi jika sudah berhubungan dengan kepentingan, semuanya bisa diatur sesuai dengan pesanan.
Berbeda dengan regulasi dalam sistem Islam, setiap pasal yang dikeluarkan sudah pasti berasal dari aturan Ilahiah yang telah Allah tetapkan. Perbedaan pandangan dan kepentingan tidak bisa mengubah hukum yang ada. Alhasil, keadilan pun bisa terlaksana dengan sempurna, tanpa membedakan antara rakyat jelata ataupun pengusaha kaya raya. Semua sama di hadapan syara'.
.
Wallahu A'lam bis Shawab
*(Pemerhati Sosial dan Masyarakat)
.