Oleh : Dwi Suryaningsih
CILACAP – Hingga Juni 2019, temuan HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap mencapai 1.444 kasus. Jumlah tersebut merupakan data sejak tahun 2007. Diyakini, jumlah kasus faktual di lapangan lebih dari angka tersebut.
Kasus HIV/AIDS tersebut menjadi bahasan utama dalam Rapat Koordinasi Perangkat Daerah Kabupaten Cilacap, Senin (22/7/2019). Rakor yang digelar di Aula Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Cilacap, dibuka Bupati Tatto Suwarto Pamuji.
Kepala Dinkes Cilacap, Marwoto dalam paparannya menyebutkan, Kecamatan Cilacap Selatan menjadi wilayah dengan temuan HIV/AIDS tertinggi di Kabupaten Cilacap, mencapai 138 kasus. Disusul Kecamatan Kesugihan 94 kasus, Jeruklegi 62 kasus, Cilacap Tengah 55 kasus, dan Adipala 48 kasus.(cilacapkab.go.id)
Innalillahi.., sungguh miris mendengarnya. Kabupaten Cilacap dengan semboyan Cilacap BERCAHAYA ( bersih, elok, rapi, ceria, hijau, aman dan jaya) nyatanya justru sebaliknya, Cilacap berbahaya!. Cilacap yang juga merupakan kabupaten terluas di jawa tengah dengan mengampuh 24 kecamatan, tidak hanya menakutkan dengan lapas Nusakambangannya. Namun banyak hal yang mengerikan yang terjadi di dalamnya(darurat perceraian, kemiskinan, TKW dan darurat-darurat lainnya..).
Karena penyebaran virus yang mematikan ini begitu masif, banyak aktifis dan pemerintah hingga badan kesehatan dunia perlu melakukan berbagai tindakan nyata. Namun, alih-alih tindakan itu menghentikan, atau menyelesaikan perkembangbiakan virus dan penyakit ini, justru malah subur. Berbagai program digulirkan, kondomisasi, pembekalan Kesehatan Reproduksi Remaja ( KRR), prostitusi yang di lokalisasi dan lain-lain.
Virus dan penyakit mematikan ini, diakui atau tidak, sebenarnya bersumber dari kehidupan sosial yang salah. Free love, free sex, pergaulan bebas, prostitusi, baik yang dilokalisasi maupun liar, merupakan sumber utama perkembangbiakan penyakit ini. Pendek kata, semua ini terjadi akibat diterapkannya sistem pergaulan (nidzam ijtima’i) yang keliru, yakni liberal-sekuler yang merupakan turunan dari Demokrasi-kalpitalis yang bertentangan dengan lslam.
Mestinya, fenomena ini menyadarkan kaum Muslim, bahwa solusi dari seluruh permasalahan ini adalah dengan kembali kepada sistem Islam yang akan membawa mashlahat bagi seluruh umat manusia.
Sebagaimana firman Allah,
“Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat ulah tangan manusia, agar Dia (Allah) mencicipkan mereka (untuk merasakan) sebagian dari apa yang telah mereka kerjakan, supaya mereka kembali (kepada Allah).” (TQS ar-Rum [21]: 41)
Dengan kembali kepada sistem Islam, maka tidak akan ada lagi pergaulan bebas di tengah-tengah kaum Muslim. Kehidupan antara pria dan wanita diatur sedemikian rupa. Mereka dilarang berkhalwat, berduaan pria dan wanita yang bukan mahram, termasuk berpacaran. Bukan hanya melarang berkhalwat, Islam juga melarang kaum pria dan wanita melakukan ikhtilath (campur baur), kecuali dalam perkara yang dibenarkan oleh syariah, seperti jual beli, haji-umrah, misalnya. Karena hukum asal kehidupan antara pria dan wanita itu memang terpisah secara total.
Tidak hanya itu, kaum pria diwajibkan untuk menundukkan pandangan terhadap kaum wanita, sehingga terhindar dari memandang lawan jenis dengan dorongan syahwat. Demikian sebaliknya. Islam pun melarang kaum perempuan melakukan tabarruj, berpenampilan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Hal yang sama juga berlaku bagi kaum pria. Islam juga melarang pria maupun wanita menampakkan auratnya di hadapan masing-masing.
Semuanya ini merupakan ketentuan yang telah diatur oleh sistem Islam untuk membentuk masyarakat yang baik dan sehat. Jika semua ketentuan tersebut dijalankan, maka pintu perzinaan tertutup rap
ggap nekad. Bagi yang sudah menikah (muhshan), dia dikenakan sanksi rajam, dilempari batu hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghairu muhshan), dia dikenai sanksi jilid, dicambuk 100 kali.
Inilah sanksi yang tegas dan keras bagi pelaku zina. Adapun bagi mereka yang melakukan pelanggaran, meski tidak sampai kepada taraf berzina, seperti berkhalwat, ikhtilath, membuka aurat, ber-tabarruj, dan sebagainya, sekalipun tidak disebutkan sanksinya dengan jelas dan tegas, mereka tetap dikenakan sanksi. Bagi mereka sanksinya adalah ta’zir. Berat dan ringannya bisa dikembalikan kepada hakim, namun hakim bisa merujuk pada hukuman hudud, seperti dicambuk, dan atau dibuang, misalnya.
Tindakan Khilafah
Selain menerapkan hukum dan sanksi yang tegas dan keras di atas, baik untuk mencegah maupun menangani mereka yang terbukti melakukan pelanggaran, khilafah juga akan melakukan tindakan lain. Khususnya yang terkait dengan penanganan HIV/AIDS dan penyebarannya.
Bagi mereka yang mengidap virus HIV/AIDS, jika terbukti sebagai pelaku zina, baik muhshah maupun ghairu muhshan, maka khilafah akan menjatuhkan had zina kepada masing-masing. Dengan dijatuhkannya sanksi rajam bagi penderita HIV/AIDS yang muhshan, maka dengan sendirinya akan mengurangi jumlah penderia HIV/AIDS, sekaligus membersihkannya, baik dari dampaknya kepada orang yang lain, maupun dosanya di sisi Allah SWT. Sementara bagi yang ghairu muhshan, akan dijatuhi sanksi jild, sebanyak 100 kali. Setelah itu, dia akan diperlakukan sebagai penderita HIV/AIDS dengan perlakuan yang khas. Perlu dicatat, hukuman sanksi dalam lslam mengandung 2 unsur, yakni : jawabir( sebagai pertanggungjawaban didunia atas tindakan kemaksiatan, dan di akhirat kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban) dan jawazir( pembuat jera). Namun hal ini hanya bisa direalisasikan manakala kepemimpinan lslam, yakni khilafah lslam sudah tegak.
Perlakuan yang khas juga dilakukan oleh khilafah terhadap penderita lain, yang bukan pelaku zina. Mereka bisa saja istri dari pelaku zina, yang tidak terlibat zina, atau anak-anak yang tertular virus tersebut dari orang tuanya. Bahkan, mungkin orang lain yang tidak bersalah, tetapi terinfeksi virus HIV-AIDS dari orang tersebut. Mereka semua mendapatkan perlakuan yang sama sebagai penderita virus yang mematikan ini.
Khilafah akan memberikan layanan pengobatan terbaik, kelas pertama, dan gratis. Khilafah juga akan bekerja keras menemukan penawar virus HIV/AIDS ini, dengan mendanai riset untuk keperluan ini. Karena mereka ini mengidap virus menular, dan mematikan, maka mereka akan dikarantinakan di pusat-pusat rehabilitasi kelas pertama dengan berbagai fasilitas kelas satu. Bukan hanya diobati dan dirawat secara fisik, tetapi mereka juga akan di-recovery mentalnya, sehingga bisa menatap masa depan dan sisa hidupnya dengan sabar, tawakal dan positif.
Pada masa yang sama, tindakan ini untuk mengeliminasi penyebaran dan pengembangbiakan virus ini di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, baik kepada penderita maupun masyarakat juga ditanamkan pandangan positif, bahwa semuanya ini merupakan musibah, yang bisa merontokkan dosa-dosa mereka. Dengan begitu, baik pelaku maupun masyarakat, sama-sama mempunyai pandangan yang positif.
Begitulah cara Islam, dan khilafah mengatasi masalah ini. Sungguh tiada solusi yang shohih selain solusi untuk kembali kepada tatanan syariat lslam yang telah nyata terbukti kegemilangannya.
Wallahu'a lam bish- shawwab.