Hidangan "Lezat" Ala Demokrasi




Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Member Akademi Menulis Kreatif)


Pesta rakyat telah usai, berbagai drama, polemik, serta kisah pilu seolah hilang begitu saja.

Tidak ada lagi perseteruan antar pendukung 01 atau 02, tidak ada lagi ijtima Ulama, tidak ada perjuangan atas nama rakyat.

Kini saatnya rakyat Indonesia menikmati hidangan "lezat" ala demokrasi. Hidangan yang suka atau tidak harus kita nikmati sebagai konsekuensi hidup dalam sistem demokrasi.

Nasi goreng khas Teuku Umar rupanya begitu menarik selera Sang Jenderal yang dikenal dengan macan Asia.

Nikmatnya nasi goreng ibu Mega membuat publik bertanya-tanya ada apa dengan Sang Jenderal? Apakah mulai legowo menerima dicurangi untuk kedua kali, atau memilih bersebrangan dengan rakyat yang telah mendukung penuh selama ini termasuk para Ulama, atau tergoda menyicipi remahan kekuasaan.

Publik terkenang saat Prabowo dan Mega menjadi pasangan dalam pilpres 2009 lalu. Sajian nasi goreng ini seakan mampu menyembuhkan sakitnya kegagalan dua kali Prabowo berjuang meraih kursi presiden di negeri ini.

Meski sebagian pendukungnya masih berusaha husnuzhon dengan jamuan makan ini, menanggap selama belum ada deal politik ini hanya jamuan makan biasa, tidak ada hubungannya dengan bagi-bagi kekuasaan.

Ternyata tak hanya nasi goreng, menu nasi kebuli ala Surya pun menjadi hidangan "lezat" demokrasi. Kali ini giliran Surya paloh menjamu Anis Baswedan di Gondangdia. Anis yang merupakan rival Ahok saat pilkada DKI 2017 tiba-tiba dijamu dan digadang-gadang bakal jadi calon presiden 2024 nanti.

Tentunya partai yang berkoalisi dengan Jokowi-Ma'ruf merasa 'terancam' dengan tontonan ini. Dalam politik tidak ada makan siang gratis. Tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi, selama ada kepentingan maka semua hal bisa saja terjadi, meskipun harus menjilat ludah sendiri.

Jika Prabowo begitu romantis makan nasi goreng ala Megawati, maka bisa dipastikan Gerindra akan kecipratan rezeki berupa jatah kursi di kabinet atau jabatan prestisius lainnya.

Sebelumnya publik dihebohkan dengan  pertemuan Prabowo dan Jokowi di Lebak Bulus. Pertemuan yang disebut-sebut pemerintah sebagai rekonsiliasi.

Dilansir oleh Tempo.co.id 13/07/2019,  bahwa sejumlah aktivis HAM menilai pertemuan ini bukan rekonsiliasi, melainkan negosiasi.

Pendiri Kantor Hukum Lokatura, Haris Azhar menilai bahwa ujung dari negosiasi ini adalah bagi-bagi kekuasaan, proyek, dan sumber daya alam. Tidak ada pembicaraan mengenai pemulihan kondiai masyarakat yang terbelah. "Ujung-ujungnya negosiasi, bukan rekonsiliasi," ujarnya.
(Tempo.co.id,13/07/2019).

Lalu bagaimana nasib oposisi? Akankah terus istiqomah berada diluar pemerintahan, atau justru latah mengemis remahan kekuasaan dengan merapat pada penguasa? Entahlah, kita lihat saja!

Inilah demokrasi, menghidangkan menu yang "lezat" yang terpaksa ditelan rakyat.
Jargon dari, oleh, dan untuk rakyat hanya pemanis. Rakyat hanya menjadi pendorong mobil rusak yang mogok, disanjung, dirangkul, dan diberi perhatian hanya saat suara mereka dibutuhkan. Setelah itu rakyat ditinggal, janji manis hanya tinggal janji, tanpa bisa dibuktikan, dan ujungnya rakyat harus menelan pil pahit hasil demokrasi ini.

Seharusnya rakyat sadar, dan taubat, bahwa demokrasi bukanlah jalan menuju perubahan. Jangan lagi tertipu oleh janji manis, pidato berapi-api akan berjuang sampai tetes darah terakhir, suka-duka bersama rakyat, dll.

Berapa kali lagi mau kecewa?
Berapa banyak lagi bukti, hingga kita sadar telah dikhianati?
Dan berapa lama lagi bertahan dengan sistem ini?

Rakyat hanya jadi sapi perah para politikus. Suara ulama tak lagi didengar, apalagi sekedar jeritan emak-emak yang tak kuasa menerima kenyataan harga sembako kian merangkak naik, cabe semakin pedas harganya, TDL , kebutuhan hidup makin mencekik, sementara penghasilan makin tak mencukupi.

Inilah demokrasi, hidangannya begitu "lezat" untuk dinikmati. Menu yang setiap saat bisa berganti, baik rasa atau penampilannya. Pagi saling hantam, siang bisa berangkulan.

Jangan pernah berharap pada manusia, parpol, atau sistem demokrasi. Hanya akan sakit hati dan gigit jari. Siapapun orangnya, apapun partainya, jika sistemnya masih demokrasi mustahil bisa meraih perubahan, apalagi kebangkitan.

Berharaplah hanya kepada Allah SWT, berjuang sesuai yang dicontohkan Rasulullah, mengikuti petunjuk dan risalahnya. Berjuanglah demi tegaknya hukum Islam secara kaffah maka insya Allah tidak ada yang sia-sia. Semua akan dicatat sebagai pahala.

Belajarlah dari kejadian ini. Tidak ada yang benar-benar berjuang demi rakyat. Mereka hanya peduli pada kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka tidak peduli pada 700 korban KPPS, korban 21-22 Mei, apalagi perjuangan para relawan, emak-emak militan, bahkan ijtima Ulama sekalipun.

Saatnya berubah, tiada guna berharap melalui demokrasi, saatnya berjuang bersama umat untuk menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai daulah khilafah yang insya Allah membawa rahmatan lil alamin. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak