BY : SITI SULISTIYANI SPd
G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia
Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.
Aroma Pengendalian Negara Berkembang
Langkah mengajak negara-negara berkembang yang berpotensi menjadi raksasa dunia seperti China, India, Indonesia, dan Brazil, menjadi sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri oleh negara maju (lama) Amerika dan Eropa. Pemunculan G-20 menjadi sebuah revolusi nyata dari perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi dunia. Krisis keuangan sejak 2008 yang melanda negara maju memorak-porandakan tatanan ekonomi mereka. Bahkan, telah mematahkan mitos ketahanan negara adidaya ekonomi. Mengingat negara maju menjadi pasar mayoritas negara-negara berkembang maka mau tidak mau negara berkembang pun ikut pusing dalam kerja-kerja pemulihan ekonomi keuangan dunia. Tetapi, di samping fakta di atas, krisis keuangan mutakhir ternyata memberikan fakta yang lebih, yaitu daya survival dari beberapa negara berkembang dalam menghadapi krisis yang ada.
Amerika dan Eropa seolah-olah tidak mau kehilangan muka dalam mempertahankan hegemoni ekonomi dunia karena menyadari dan melihat pergeseran episentrum ekonomi dari Barat ke Timur. Akhirnya mereka dengan cover new world economic order merangkul calon negara-negara raksasa ekonomi dalam lingkaran eksklusif mereka dalam rangka menentukan arah kebijakan perekonomian dunia. Negara-negara berkembang tersebut tentu saja menyambut dengan baik ajakan itu, selain meningkatkan prestise mereka, ajakan ini juga didalihkan menjadi ajang penyeimbangan kekuatan ekonomi menuju tatanan ekonomi yang lebih adil. Selain itu, ternyata pengalihan G-8 ke G-20 menunjukkan sebuah bentuk arogansi negara-negara maju yang mencoba menutupi ketidakmampuan mereka dengan cover G-20. Esensinya mereka tidak ingin kehilangan kontrol atas arah kebijakan perekonomian dunia. Artinya G-20 hakikatnya adalah upaya mempertahankan hegemoni ekonomi mereka atas dunia. Padahal, boleh jadi perekonomian mereka sebenarnya sudah ada di tepi jurang kehancuran.
Deklarasi Osaka
KTT G20 Osaka 2019 adalah pertemuan G20 keempat belas. Acara tersebut diadakan pada 28–29 Juni 2019 di International Exhibition Center, Osaka.Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Osaka Jepang ditutup, Sabtu (29/6/201) sore dengan berbagai kesepakatan.Di antaranya peningkatan peran wanita dan perhatian kepada kesenjangan global saat ini termasuk lingkungan hidup.
Ekonomi digital dan pemberdayaan perempuan menjadi isu yang diangkat oleh Indonesia dalam pertemuan tersebut.Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan hasil pembahasan digital, inovasi dan artifisial intelligent dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 mengalami apresiasi kemajuan perlakuan (treatment) perpajakan ekonomi digital. Dia menjelaskan, kemajuan ini adalah hasil pertemuan para Menteri Keuangan dua minggu yang lalu di Fukuoka, Jepang. Dia menambahkan, ada negara-negara yang mendapatkan hak-hak perpajakan yang hilang akibat kerahasiaan (secrecy) itu. Ditegaskan olehnya Indonesia akan terus mengikuti kerjasama perpajakan internasional ini untuk perpajakan yang adil di era digital.
Tidak diingkari pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia cukup pesat.Dalam perjalannanya pelaku ekonomi digital lepas dari pajak.Sehingga dalam KTT inipun diusulkan untuk disepakati adanya pajak.jelas ini akan semakin menambah beban rakyat.
Negara Berkembang Dapat Apa?
Sejak keterlibatan Indonesia dalam pertemuan G-20 di level kepala negara, ada semacam kebanggaan Indonesia sudah setara dengan negara-negara maju, lebih strategis. Dan gagasan-gagasan ini salah kaprah. Dengan berpijak pada konstelasi geoekonomi G-20, dapat kita lihat di mana posisi Indonesia.yaitu memuluskan agenda agenda Negara maju. Harapan agar G-20 memiliki peran yang besar dalam mengatasi krisis global, menciptakan kesetaraan dan keadilan hanya ilusi. Sebab G-20 tidak menjawab persoalan krisis secara subtansial melainkan lebih terarah untuk mempertahankan Kapitalisme baik Kapitalisme ala Anglo-Saxon (AS dan Inggris) maupun ala Eropa Continental (Jerman dan Perancis). Justru G-20 menjadi sarana baru bagi Barat dalam mempertahankan eksistensi penjajahannya atas dunia.
Pelibatan negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta merta membuat posisi dunia ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara. Skenario ini justru semakin menguras sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di sisi lain negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantung pada hutang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.
Cina yang tumbuh menjadi Negara yang bersaing dengan amerika dalam pertemuan di KTT tersebut telah menjadi perhatian serius dari AS. Trump membuat nada berdamai saat kedatangannya di Jepang untuk menghadiri KTT G20 meskipun dia mengatakan ekonomi Tiongkok berantakan sebelum ia berangkat ke Osaka. Trump mengatakan dia siap untuk membuat kesepakatan bersejarah dengan Tiongkok ketika para pemimpin memulai pertemuan. Xi pun mengatakan bahwa dialog lebih baik daripada konfrontasi.Artinya justru dalam KTT tersebut AS telah berhasil untuk mengontrol atas kebijakan kebijakn tiongkok. Paling tidak menurunkan tensi perang dagang yang terjadi antara Cina-AS.
Keberadaan G-20 juga bukan untuk menggantikan peran IMF dan Bank Dunia. Namun, G-20 dibutuhkan Barat untuk menutupi ketidakmampuan dua lembaga ini dalam meredam dampak krisis keuangan global. Dengan G-20, Barat memiliki kekuatan lebih untuk mengorganisir kebijakan dan menghimpun dana dalam menyokong institusi keuangan global tersebut.
Di G-20 negara-negara berkembang tetap menjadi subordinasi negara-negara maju. Mereka mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Barat sebagaimana mereka dilarang melakukan proteksionisme dan harus meliberalisasi perekonomian domestik. Padahal negara-negara maju melakukan proteksionisme terselubung terhadap lembaga keuangan dan korporasi raksasa mereka dengan dana trilyunan dollar.
Penutup
Secara ideologis, negara-negara Barat tidak dapat bertahan hidup untuk membiayai “kerakusan” sistem ekonominya kecuali melakukan penjajahan atas negara lain. Sebagaimana pandangan Taqiyuddin an-Nabhani, penjajahan merupakan metode baku Kapitalisme, sedangkan yang berubah hanya cara (uslub) dan sarananya.
Krisis keuangan global telah memunculkan G-20 sebagai sarana baru bagi Barat untuk mengatasi dampak krisis sekaligus mengefektifkan penjajahannya atas dunia Islam dan negara-negara berkembang. Patut disayangkan, Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia bukan saja terperangkap penjajahan Barat tetapi juga menjadi “ujung tombak” AS dalam merealisasikan agenda-agenda imperialismenya.
Seharusnya Indonesia menjadi pionir bagi dunia Islam yang berani melepaskan keterikatan dengan ideologi Kapitalisme dan menghidupkan kembali idiologi islam yang pernah memimpin dunia.Tanpa ini tak akan mungkin sebuah Negara mampu melihat berbagai strategi busuk dari musuh musuh Islam yang selama ini senantiasa menguasai umat. Waallahu alam bishowwab