Oleh Enok Badriyah
Setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan gugatan sengketa pilpres 2019 yang diajukan Prawobo-Sandiaga Uno dan terpilihnya kembali Jokowi menjadi presiden 2019 tak sedikit orang berebut kursi-kursi dan jabatan agar bisa terpilih menjadi bagian nya.
Presiden Jokowi dan Prabowo akhirnya bertemu untuk pertama kali sejak keduanya berkontestasi di Pemilihan Presiden (Pilpres 2019). Sudah tidak heran lagi dalam sistem demokrasi ini semua yang tidak akan terjadi bisa terjadi hanya demi suatu kepentingan.
Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta menjadi saksi pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Sabtu ini (13/7/2019) keduanya akan melakukan pertemuan sekaligus menjajal MRT Jakarta. (Detikfinance, 13/7/2019).
Pendiri Kantor Hukum Lokataru Hariz Azhar tak melihat rekonsiliasi konkret dalam pertemuan dua kontestan pemilihan presiden tersebut. “Tidak terlihat yang menjadi obyek rekonsiliasinya, apa keterbelahan masyarakat? Ini tidak mungkin dibicarakan dalam pertemuan yang singkat di MRT tadi,” kata dia dalam diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 13 Juli 2019.
Haris menilai kata rekonsiliasi kurang tepat menggambarkan pertemuan tadi pagi. Dia menilai kedua belah pihak hanya mencari posisi sama-sama untung. Kubu Jokowi, kata dia, menggunakan kata rekonsiliasi untuk menundukkan kubu Prabowo supaya tidak terus berulah. Sementara, kubu Prabowo menggunakan kata rekonsiliasi dalam rangka mencari keuntungan bagi pihaknya. “Istilahnya untuk mencari lubang angin.”
Haris mengatakan ujung dari negosiasi ini hanyalah bagi-bagi kekuasaan, proyek, jabatan dan sumber daya alam. Tidak ada pembicaraan mengenai pemulihan kondisi masyarakat yang terbelah. “Ujung-ujungnya negosiasi, bukan rekonsiliasi,” kata dia. (Tempo.com, 13/7/2019)
Dalam sistem kapitalis ini suatu kewajaran jika sistem ini gagal membawa perubahan. Karena sejatinya sistem ini buatan manusia yang hanya punya keterbatasan yang hanya menginginkan kepentingan dan kekuasaan semata.
Siapa yang berkuasa maka dia bisa merubah kebijakan yang ada. Bagi-bagi kekuasaan demi melancarkan kepentingan kelompoknya sendiri serta mengkhianti rakyat hanya demi kepentingannya sendiri. Jadi, bohong besar dalam sistem kapitalis bisa menyejahterakan rakyat.
Bagaimana Islam mengatasinya? Islam tentu tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Islam agama yang sempurna dari urusan terkecil sampai yang terbesar, termasuk urusan menentukan pemimpin. Karena dalam sistem Islam negara akan membentuk individu-individu yang taat kepada aturan Allah.
Ketika para pemimpin menjadikan akidah Islam sebagai pondasi kehidupan dan kekuasaan akan muncul rasa ketakutan kerasnya siksa Allah bagi mereka ketika menghianati suatu amanah umat, berbuat kezaliman dan menipu umat.
Para pemimpin yang menyimpang dari hukum-hukum Allah adalah pemimpin yang jahat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal serta pemimpin kerap mengkhianati amanah. Pemimpin yang tergila-gila akan kekuasaan tanpa memikirkan rakyatnya.
"Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sementara dia dalam keadaan menipu(mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya."(HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Sosok pemimpin yang patut kita teladani adalah Rasulullah SAW.
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah."(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21).
Gaya kepemimpinan Rasulullah SAW mempunyai sikap yang mulia. Kunci sukses beliau dalam memimpin mempunyai empat sifat: Sidiq (kejujuran), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), tabligh (menyampaikan).
Dari situ Islam akan mewujudkan pemimpin yang taat kepada Allah. Yaitu ketika dia terpilih untuk memperjuangkan kepentingan umat.Tak ada yang namanya bagi-bagi kekuasaan. Maka menegakkan syariat Islam dan ide-ide Islam adalah solusi jitu untuk memberantas masalah-masalah yang terjadi sekarang.
Wallahu 'alam