Dua Garis Biru, Solusi Edukasi yang Keliru



Oleh. Junaidah, S.Pd.
Pendidik, Members Penulis Ideologis

Jika pegadaian punya semboyan "Menyelesaikan masalah tanpa masalah", maka Dua Garis Biru adalah penyelesaian masalah yang melahirkan masalah. Betapa tidak, maksud hati hendak mengedukasi remaja tentang kesehatan reproduksi malah berpeluang menjerumuskan mereka pada prilaku tak berbudi. Maka tak heran muncul petisi dari Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org.

Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampai batas. Menurut mereka, tontonan itu dapat memengaruhi masyarakat, khususnya remaja untuk meniru apa yang dilakukan di fllm.

"Beberapa scene di trailer menunjukkan proses pacaran sepasang remaja yang melampaui batas, terlebih ketika menunjukkan adegan berduaan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka. Scene tersebut tentu tak layak dipertontonkan kepada generasi muda. Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat memengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton, isi di dalam petisi, dilihat detikhot, Rabu ( 1/5/2019 )

Meski tak melihat ada adegan yang melanggar undang-undang, mereka menyebut ada pesan implisit yang ingin disampaikan "Dua Garis Biru". Pesan tersebut dikhawatirkan dapat merusak generasi muda Indonesia.

"Segala tontonan yang menjerumuskan generasi kepada prilaku amoral sudah sepatutnya dilawan (bukan tentang film Dua Garis Biru, melainkan film secara umum), karena kunci pembangunan negara ada pada manusianya. Mustahil apabila kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2025, namun generasi muda masih sering  disuguhkan tontonan yang menjerumuskan kepada prilaku amoral, tulis mereka.

Hingga Rabu (1/5/2019) pukul 7.40 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani 158 orang. Namun sejumlah netizen menyayangkan adanya petisi, padahal film belum ditayangkan. Sehingga tidak bisa melihat secara utuh pesan yang disampaikan.

"Satu lagi film yang menjadi korban petisi netizen, sementara filmnya sendiri belum ditayangkan di bioskop manapun. Padahal #Dua Garis Biru diniatkan untuk mengedukasi generasi muda perihal bahaya seks di luar nikah. Ada apa dengan manusia-manusia di negeri ini?" kata @TarisSolis di twiter. (detikhot)

Ya, ada apa dengan manuaia-manusia di negeri ini? Katanya ingin mengedukasi tentang bahaya seks di luar nikah tetapi memberi solusi dengan film yang bisa menjerumuskan mereka pada perilaku seks tersebut. Apa tidak ada cara lain?

Badan Kependudukan dan  Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdalih film ini dapat membantu BKKBN menyampaikan programnya kepada remaja. Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, M.Yani di Jakarta, Kamis mengatakan film Dua Garis Biru dapat membantu BKKBN dalam menjangkau remaja Indonesia lebih luas dengan program Generasi Berencana (GenRe)

"Dalam program, kita sulit menggambarkan realita ini, tapi film dengan mudah memberi gambaran yang benar-benar terjadi di tengah-tengah masyarakat", kata Yani.

Film karya sutradara Ginatri S. Noer itu mengisahkan dua pasang remaja yang melampaui batas dalam berpacaran sehingga berujung pada pernikahan dini.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Dwi Listyawardani mengatakan bahwa film tersebut bisa menjadi edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja yang menontonnya. Menurut dia, meyampaikan sosialisasi megenai kesehatan reproduksi, perencanaan kehidupan, dan nilai-nilai lain kepada remaja memang lebih tepat menggunakan media film. Dwi pun mengatakan BKKBN akan membawa film Dua Garis Biru sebagai soaialisasi program agar bisa ditonton oleh remaja di seluruh provinsi. (Antara)

Memang, film menjadi sarana yang sangat menarik untuk menyampaikan pesan pada remaja karena umumnya remaja suka pada film. Dengan film pesan dapat dengan mudah diserap. Tetapi perlu diingat yang terserap tidak hanya hal positif tetapi juga yang negatif. Apakah kita bisa menjamin remaja yang menonton film itu bisa memilih dan memilah yang baik dan yang buruk? Faktanya justru yang buruklah yang mereka contoh.

Oleh sebab itu, seharusnyalah pemegang kekuasaan dan pengambil kebijakan lebih jeli dan serius dalam mencari solusi pemecahan masalah tersebut. Jika memang ingin memberi pendidikan seks dengan tujuan baik, agar remaja tidak terjerumus pada seks bebas yang berbahaya, maka film Dua Garis Biru tidaklah layak buat digunakan sebagai alat sosialisasi karena mempertontonkan adegan berpacaran yang melampaui batas, kecuali memang ada maksud lain yang terselubung. Apa itu? Tentu saja menyebarkan paham liberalisme yang menjadi agenda Barat.

Sistem  liberal memang mengagungkan kebebasan, tidak mempertimbangkan dampak buruknya bagi masyarakat. Selagi ada yang menginginkan dan menjanjikan keuntungan, film akan terus dibuat dengan judul dan trailer yang menjual. Dan rezim sepertinya tak berdaya mengendalikan arus liberalisasi yang menghancurkan generasi melalui film.

Sebaliknya,  film dalam sistem Islam digunakan sebagai sarana dakwah dan edukasi bagi rakyat. Para insan perfilman  tidak boleh membuat film yang mengandung hal-hal yang merusak dan melanggar syariat. Jika ada yang berani melanggar, maka negara harus turun tangan memberi sanksi yang setimpal. Negara menurut Islam punya peran utama mengendalikan produksi film karena tugas negara adalah mengurus dan melindungi rakyatnya dari bahaya, termasuk bahaya yang muncul dari ide atau pemikiran yang merusak.

Untuk mencegah bahaya seks di luar nikah, Islam punya solusi preventif (pencegahan), antara lain menanamkan ketakwaan dan rasa takut pada Allah, melarang ikhtilat(campur baur laki-laki perempuan), melarang berdua-duaan dengan lawan jenis di tempat sepi tanpa mahram(berkhalwat), larangan tidur dalam satu selimut, mewajibkan kaum muslimin menutup aurat, memerintahkan menahan pandangan, melarang beredarnya hal-hal yang berbau pornografi seperti buku, majalah, film, dan konten-konten porno, serta memberi kemudahan bagi yang ingin dan siap menikah.

Jika tindakan preventif itu tidak juga mencegah seseorang dari berbuat zina, maka dilaksanakanlah tindakan kuratif(setelah terjadi pelanggaran) berupa sanksi yang berat bagi para pelaku zina. Jika mereka masih gadis atau bujang dirajam seratus kali dan diasingkan selama tiga tahun. Bagi pelaku yang sudah pernah menikah hukumannya dirajam sampai mati. Jika hukuman itu diterapkan akankah ada yang berani berbuat zina? Tentu mereka akan berpikir seribu kali. Kesemuanya itu menjadi kewajiban negara untuk menerapkannya. Jika pemimpin negara itu tidak melaksanakannya, maka Allah mengancamnya dengan azab yang pedih kelak di akhirat. Lalu, negara manakah yang sanggup menerapkan hukum Allah itu? Tidak lain tentulah negara yang memang didirikan dengan tujuan untuk menerapkan seluruh syariat Islam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak