Oleh: Sartinah
Generasi muda adalah harapan bangsa. Yakni, generasi masa depan yang harus dididik dengan pendidikan yang benar, sehingga tercipta generasi cemerlang yang kelak menjadi penggerak peradaban. Namun, entah apa jadinya, bila pendidikan yang notabene menjadi hak setiap rakyat, sekaligus menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, diserahkan pada asing. Selalu saja, asing jadi nominasi terbaik atas buruknya sistem pendidikan di negeri ini. Namun pertanyaannya, benarkah asing dengan ide sekulernya, mampu menjadi solusi untuk menciptakan output yang berkualitas dan berakhlak?
Visi pendidikan yang jauh dari Islam telah merasuki sistem pendidikan di negeri ini. Terlebih, penguasa masih menggantungkan harapannya pada pendidikan ala barat sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Olehnya itu, pemerintah tengah merevisi aturan terkait Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Rencanannya, dalam aturan tersebut akan dibuat beberapa insentif untuk menarik tenaga pendidik asing mengajar di Indonesia.
Menurut Sekretaris Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, revisi aturan tersebut akan memberikan insentif di bidang jasa, seperti pendidikan, ekonomi kreatif, dan kesehatan. "KEK, ada dua revisi PP, finalisasi PP kek, fasilitas fiskal di KEK. Ada beberapa pending, karena KEK ditambahi tax holiday allowace. KEK nanti ada jasa, kesehatan, pendidikan, ekonomi kreatif," jelas dia dalam halalbihalal di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (10/6/2019).
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Ellen Setiadi menambahkan, revisi dilakukan guna menarik investor masuk. Pasalnya saat ini sudah ada 12 KEK yang beroperasi namun masih dinilai kurang kinerjanya.(M.detik.com)
Arah pendidikan Barat yang sekuler ternyata tak menyurutkan niat penguasa untuk membekali para pelajar dengan nutrisi ala Barat. Hal ini terus dilakukan melihat intensnya penguasa bekerja sama dengan asing dalam segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Terbukti, baru-baru ini, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir telah melepas 45 orang delegasi mahasiswa Indonesia yang akan melaksanakan kunjungan ke China mulai 15 hingga 21 Juni 2019.(ANTARA News)
Hal ini semakin membuktikan bahwa sistem pendidikan dalam dunia kapitalisme kian memprihatinkan. Pendidikan yang seharusnya menjadi pilar penting pembentuk pribadi-pribadi yang cemerlang, kini hanya isapan jempol semata. Bukannya mencetak generasi-generasi terbaik, pendidikan dengan paradigma sekuler justru nihil visi penyelamatan dari kerusakan generasi.
Sebagai contoh, meski ilmu pengetahuan terus mengalami perkembangan yang luar biasa, tetapi pendidikan yang ada tidak mampu mengatasi berbagai problem umat di seluruh dunia, khususnya negeri-negeri muslim. Pun demikian dengan perkembangan teknologi yang terus melesat, tetap tak mampu menjawab krisis multidimensi yang terlanjur menggerogoti di semua bidang kehidupan.
Sebut saja krisis kemanusiaan, politik, ekonomi, tak terkecuali krisis generasi. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan melesat bagai anak panah, tapi degradasi moral kian parah. Kendatipun para pelajar berbondong-bondong mengejar ilmu, tetapi integritas akhlak semakin tipis. Hingga akhirnya menjerumuskan generasi-generasi muslim pada kebebasan yang merusak, seperti narkoba, mabuk-mabukan, seks bebas, hingga maraknya begal.
Semua terjadi karena kesalahan tujuan pendidikan sekuler yang jauh dari wahyu Allah. Tujuan pendidikan yang terlampau materialistik yang tak jauh dari hitung-hitungan materi. Dan tak kalah miris, pendidikan di negeri-negeri muslim telah terinfeksi nilai kebebasan dan sekularisme akut, yang hanya fokus mengejar keberhasilan individu dan bagaimana merajai dunia kerja.
Sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab "Bidayatul Hidayah," bahwa jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk mencari pujian atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia.
Pendidikan yang diterapkan pun tidak bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa. Kapitalisme sebagai penyetir utama, justru menggiring pendidikan ke arah liberal, agar tetap mengokohkan cengkeraman hegemoni mereka di negeri ini. Sebut saja privatisasi pendidikan yang menjadi agenda kapitalis, membuat pendidikan hanya sekadar sebagai komoditas. Dampaknya, pendidikan tak bisa dinikmati semua kalangan, tapi hanya jadi milik mereka yang berharta.
Pun demikian dalam proses belajar mengajar. Sistem pendidikan sekuler tak lebih dari sekadar proses transfer ilmu dari guru kepada murid. Sehingga menciptakan pribadi-pribadi individualis, yang hanya fokus terhadap kemampuan dan keberhasilan dirinya. Demikian juga output yang diharapkan dari pendidikan dengan paradigma sekuler adalah mampu memperoleh pekerjaan dan sanggup bersaing di dunia kerja, serta mencetak tenaga profesional dan para ahli. Meski banyak fakta, pendidikan tinggi tak lantas mudah memperoleh pekerjaan.
Apalah jadinya jika pendidikan generasi diserahkan kepada asing. Padahal telah menjadi rahasia umum, bahwa barat yang notabene pengusung sekularisme, jelas-jelas telah memisahkan urusan agama dari kehidupan. Menjauhkan manusia dari aturan Sang Pencipta, dan telah terbukti menjadi biang kerok segala kerusakan. Maka jangan heran, jika barat dengan agenda kapitalisme global lebih condong dan mementingkan kepentingan hegemoni kapitalisnya, ketimbang mewujudkan visi pembangunan bangsa dan penyelamatan generasi.
Alhasil, generasi yang sudah rapuh dan terjajah di semua bidang kehidupan, kian terpuruk dan tidak mampu terlepas dari cengkeraman asing yang tetap menancapkan ideologi kapitalismenya di negeri ini. Hal ini semakin menegaskan, bahwa kerusakan yang menjangkiti generasi-generasi bangsa tak lepas dari diembannya sistem demokrasi kapitalis saat ini.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan arah dan tujuan sistem pendidikan dalam Islam. Dimana, pendidikan Islam mampu mencetak generasi-generasi cemerlang dan berakhlak mulia. Tujuan belajar pun harus semata-mata untuk ibadah dan mencari hidayah Allah, bukan demi secuil kepentingan dunia. Sektor pendidikan merupakan masalah urgen yang sangat diperhatikan oleh negara. Sebab, pendidikan merupakan pilar tegaknya peradaban cemerlang yang tergambar dalam arah dan tujuan pendidikan Islam.
Islam mempunyai sistem pendidikan yang unik. Semuanya telah diatur dengan jelas, sistematis dan sempurna dalam Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk kepribadian Islam, membekali khalayak ramai dengan ilmu pengetahuan serta sains yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Karena itu, metode pendidikan disusun untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak dibolehkan adanya metode yang mengarah pada tujuan yang lain, atau bertentangan dengan tujuan tersebut.
Sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab "Bidayatul Hidayah," bahwa jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk mencari pujian atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia.
Berikutnya, strategi pendidikan yang diterapkan adalah untuk membentuk aqliyyah dan nafsiyyah Islam, yang akan membentuk generasi-generasi berkepribadian Islam. Dan yang paling utama, kurikulum yang ditetapkan hanya berdasarkan akidah Islam.Tidak boleh ada penyimpangan sedikitpun.
Penguasa menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyat, termasuk dalam sistem pendidikan. Islam adalah dinnul haq, yang sangat sempurna dalam menyelesaikan problematika manusia. Olehnya itu, negara tidak perlu menyerahkan masa depan generasi bangsa di tangan asing seperti saat ini.
Demikianlah, Islam yang sempurna akan mampu mendidik generasi-generasi terbaik, dan jauh dari paham kebebasan yang merusak. Karena itu, penerapan Islam dalam kehidupan menjadi jaminan terwujudnya peradaban cemerlang yang akan menjadikan negara Islam menjadi negara berdaulat. Serta menjadikan Islam sebagai ideologi dunia yang akan membawa kerahmatan bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam