Demokrasi Tak Serenyah Pisang Goreng Crispy



Oleh : Hamsina Halisi Alfatih


Putusan MK ( Mahkamah Konstitusi) pasca berakhirnya sidang Sengketa Pilpres 2019 yang di selenggarakan sejak tanggal 11 juni 2019 hingga 24 juni 2019 memberi hasil keputusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman atas kemenangan Jokowi-Ma'aruf (27/6/19).


Diketahui bahwa sidang sengketa pilpres kali ini  diwarnai dengan kontroversi antar ke dua kubu dari paslon 1 dan paslon 2. Pasalnya bukti-bukti hasil rekapitulasi suara dari paslon 2 tidak disahkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Padahal jelas hasil rekapitulasi suara Prabowo-Sandi dari 320 tempat diseluruh Indonesia adalah 62

persen.


Hal ini disampaikan langsung oleh Prabowo sendiri, dilansir dari kompas.com  Prabowo mengatakan bahwa hasil real count yang dilakukan saksi dan relawannya di 320 Tempat Pemungutan Suara mencatat ia dan Sandiaga Uno meraup suara 62 persen.


Tetapi mengejutkan saat tengah malam buta KPU secara  "diam-diam" mengumumkan hasil rekapitulasi nasional Pilpres 2019 pada Selasa (21/5) pukul 02.00 WIB dini hari  https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2019/05/21/14022261/sambil-tertawa-prabowo-sebut-pengumuman-kpu-dilakukan-secara-senyap. 


Hasil rekapitulasi tersebut kemudian memenangkan Jokowi-Ma'ruf dengan perolehan suara sebanyak 85.607.362 suara atau 55,5 persen. Sedangkan Prabowo-Sandi mendapat 68.650.239 atau 44,5 persen. Dengan demikian selisih perolehan suara Jokowi dengan Prabowo hampir 17 juta suara.


Persaingan politik dalam sistem demokrasi antar para penguasa yang menginginkan jabatan tertinggi dinegri ini bukanlah hal yang baru ketika memunculkan kecurangan, kelicikan serta kebohongan. Sebab persaingan dalam sistem demokrasi memanglah tidak terikat dengan hukum syara. Sebut saja Venezuela dan Republik Kongo yang pada saat itu, pemilihan presiden diwarnai dengan kecurangan. 


Tahun 2018 di Venezuela, penyimpangan serta dugaan pembelian suara dan kecurangan lainnya mewarnai pesta demokrasi saat pemilihan presiden. Saat itu presiden petahan Nicolas Maduro keluar sebagai pemenang dan mempertahankan periode berikutnya sebagai presiden. Namun kedua rivalnya Henry Falcon dan Javier Bertucci menolak hasil pemilu  yang penuh dengan sandiwara politik, namun Nicolas Maduro tetap dilantik sebagai presiden terpilih pada tanggal 10 Januari 2019, padahal ia terbukti melakukan kecurangan.


Hal yang sama pun terjadi di Republik Kongo, pada pilpres 2018 pesta demokrasi itu tak luput dari segala bentuk kecurangan. Martin Faluyu yang pada saat itu memenangkan hasil pemilu, namun karena adanya politik kotor yang dilakukan oleh rivalnya Felix Tshisekedi yang bekerja sama dengan presiden saat itu, Joseph Kabila. Faluyu menuding bahwa keduanya memiliki kesepakatan terselubung terkait hasil pemilu. Tidak Terima dengan hasil pemilu tersebut, Faluyu kemudian membawa Kasus sengketa pilpres tersebut ke Mahkamah Konstitusi Kongo, namun kasus itu ditolak.


Demokrasi yang tak serenyah pisang goreng crispy, mau menemui keadilan didalamnya fakta yang kita dapati hanyalah sebuah ironi kebohongan. Sesedap apapun olahannya demokrasi tetaplah sebuah sistem yang tidak akan kita temui kebaikan didalamnya.


Dan bagaimana ketika kita harus dipertontonkan dengan kezaliman rezim saat ini, saat melayangnya  700 nyawa petugas KPPS hanya demi kelangsungan pesta demokrasi. Menghabiskan biaya triliunan rupiah sementara bangsa ini menanggung hutang, rakyat semakin tercekik dengan naiknya harga komoditi dipasar.


Terlalu banyak jika kita ingin menjabarkan satu persatu kejahatan dalam sistem demokrasi kapitalisme ini, alih-alih berharap kesejahteraan didalamnya yang ada hanyalah sebuah utopis semata.


 Melihat gambaran wajah demokrasi saat ini, maka sudah sepantasnya sistem ini di campakan dengan menerapkan islam sebagai satu-satunya sistem yang tak hanya menaungi satu bangsa saja tetapi seluruh negri di dunia. Sehingga dalam proses pemilihan pemimpin tak ada lagi dilakukan pemilu di masing-masing negara, tetapi dengan melalui bai'at dalam pengangkatan seorang kholifah.


Meskipun, islam membolehkan pemilu dalam pengangkatan seorang kholifah, tetapi ada  hal-hal yang harus diperhatikan yaitu pemilu pada hakekatnya ialah memilih wakil rakyat untuk melakukan sesuatu yang dikenal dengan istilah akad wakalah. Akad ini bisa menjadi halal dan harom, contoh jika seorang ayah ingin menikahkan anaknya, maka ia yang mewakilkan putrinya dalam urusan pernikahan ke Penghulu karena urusan pernikahan termaksud perkara yang di halalkan. Namun akad wakilah bisa menjadi harom jika urusan ini menyangkut pemilihan presiden dan kepala daerah untuk menjalankan undang-undang sekuler yang bertentangan dengan aturan dari Allah.


Kelak jika nantinya khilafah mengadopsi pemilu untuk memilih seorang kholifah, maka tidak akan adanya penyelisihan akidah dan syariah seprti halnya dalam sistem demokrasi.


Wallahu A'alam bishshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak