Bumbu Penyedap KTT G20



Oleh: NR. Tambunan


Kisruh perdebatan lamanya durasi pertemuan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Shinzo Abe yang mencuat di jagad media sosial nampaknya berhasil menarik perhatian para netijen. Saling buli dan caci antara para pendukung Presiden dan oposisinya  tentang satu menit yang diberikan Abe kepada Presiden Joko Widodo menggelinding bagai bola salju. Seakan disengaja membesar hingga menutupi esensi sebenarnya mengenai perhelatan penting Konferensi Tingkat Tinggi G20.

KTT G20 yang digelar pada tanggal 28 sampai dengan 29 Juni 2019 di Osaka merupakan pertemuan 19 negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar dan Uni Eropa yang bertujuan  untuk membahas isu ekonomi global (cnnindonesia.com, 28/6/2019). Posisi Indonesia sendiri dalam KTT G20 adalah sebagai salah satu negara anggota G20 selain Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Uni Eropa. Pertemuan ini sangat signifikan bagi Indonesia untuk meningkatkan pengaruh di mata internasional serta membuat Indonesia bisa berkontribusi lebih dalam menata struktur finansial global.

Namun tak dapat dipungkiri, isu strategis yang berkembang dalam pertemuan ini lebih mengarah kepada kepentingan negara-negara besar. Semua orang paham, bahwa momen ini sangat genting bagi Amerika dan Cina. Dua negara ini diketahui oleh masyarakat global secara kasat mata sedang bertarung di panggung “perang dagang”. Pertempuran yang menjadikan negara-negara negara ketiga termasuk Indonesia harus puas untuk menjadi penonton saja. Melihat tanpa dapat turut andil apalagi sampai menjadi wasit. Tak heran apabila hasil yang signifikan dan mewarnai berbagai media paska KTT G20 adalah kesepakatan antara Amerika dan Cina untuk mengakhiri perang dagang diantara mereka. 

Selain itu, menengarai hasil KTT G20 yang tertuang dalam Deklarasi Osaka, terdapat 43 poin yang disepakati oleh sebagian besar negara anggota G20. Dalam komitmen bersama negara-negara G20 tersebut, salah satunya  menyinggung mengenai pengaturan ekonomi digital yang mengarah kepada liberalisasi data. Pemanfaatan data bersama dinilai hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang memiliki latar belakang yang kuat. Meskipun Indonesia tidak ikut menandatangani deklarasi ini, namun tak dapat dipungkiri dampaknya apabila Indonesia tidak memiliki kesiapan yang cukup dalam perang ekonomi digital.

Fakta-fakta ini kiranya cukup menjadi catatan dengan garis bawah merah yang tebal, bahwa sangat kecil peluang bagi negara-negara yang tidak memiliki kekuatan ideologi dan Kapital yang besar untuk dapat berperan sentral dalam pertemuan-pertemuan internasional semacam KTT G20. Persaingan di dalam proyek liberalisasi pasar global dapat diprediksi akan menjerumuskan Indonesia ke dalam arus keuntungan yang mengarah kepada negara-negara besar saja.

Kesepakatan-kesepakatan internasional yang nyata-nyata didesain oleh negara-negara adidaya, hakikatnya adalah perangkap untuk memperdaya Indonesia dan negara kecil lainnya. Penandatanganan dan kerjasama yang selama ini digagas secara global, sesungguhnya adalah alat politik negara kapitalis untuk mengikat negara-negara jajahannya. Disadari atau tidak, hasil kesepakatan yang telah diratifikasi dan diadopsi negara telah membawa kesengsaraan dan keterpurukan yang berlarut-larut. Mimpi kebangkitan yang berharap kepada hasil kesepakatan internasional tidak pernah terwujud secara nyata. Hal yang nyata hanyalah bahwa Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dijadikan sebagai bumbu penyedap belaka dalam ramuan masakan yang akan dilahap oleh negara Kapitalis. 

Berkaca dari berbagai pengalaman dan sejarah, maka kebangkitan yang diperoleh negara lain -Cina, misalnya- diraih dan diawali dengan tekad yang kuat untuk tidak bergantung kepada kekuatan dan bantuan negara lainnya. Lebih ekstrim lagi, negara yang memiliki ideologi kapitalis, mampu bangkit dengan mempertahankan dan mengembangkan ideologinya hingga berhasil mencengkeram negara-negara lainnya untuk tunduk ke dalam kekuasaanya.

Indonesia dan negeri-negeri kaum Muslimin lainnya seharusnya lebih mampu bangkit dan menjadi pemimpin dunia. Ideologi Islam yang pernah diterapkan dalam bentuk negara selama berabad-abad sejak masa kepemimpinan Rasulullah SAW di Madinah, kemudian diteruskan oleh para Khalifah sesudah Beliau, terbukti nyata berhasil membawa negara Islam menjadi adidaya dan menguasai hampir dua pertiga dunia. Dibandingkan dengan ideologi Kapitalis yang berkuasa kurang dari satu abad, Islam sebagai ideologi yang benar, sudah selayaknya dijadikan sebagai asas yang mampu membawa Indonesia menjadi negara yang kuat.

Hanya dengan berpegang teguh pada ideologi Islam sajalah Indonesia mampu mandiri dan berpengaruh di kancah internasional. Aturan-aturan Islam yang diterapkan melalui institusi negara adalah modal utama kaum muslimin menjadi adidaya baru.

*) Penulis adalah pengamat masalah sosial.
S2 Teknik Sipil UI dan Master International Urban & Habitat, Université Lille 1, Perancis.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak