Oleh: Nuriya Fakih
Transportasi udara saat ini bukan lagi menjadi barang yang mahal. Banyak kalangan yang sudah melirik moda transportasi ini sebagai alternatifnya. Efisiensi waktu menjadi alasan moda transportasi ini menjadi pilihan, terutama bagi mereka yang ingin sampai tujuan lebih cepat. Namun dalam beberapa bulan terakhir ini, peminat transportasi udara harus berpikir ulang untuk memilih moda transportasi ini karena biaya tiket pesawat yang terlalu mahal.
Kenaikan harga tiket pesawat sudah mulai dirasakan masyarakat sejak bulan November tahun 2018 hingga masuk pertengahan tahun 2019. Menurut pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri), Gerry Soejatman, harga tiket pesawat saat ini mengalami kenaikan yang cukup drastis. Kenaikan tiket yang wajar seharusnya dalam rentang 10-20%. Namun yang terjadi justru kenaikannya mencapai 100% (https://m.detik.com).
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meredam gejolak masyarakat menghadapi kenaikan harga tiket pesawat ini. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada tanggal 28 Maret 2019 menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) no 20 tahun 2019 yang mengatur perubahan tarif batas bawah menjadi 35% dari tarif batas atas, yang sebelumnya hanya 30% dari batas atas. Namun pada kenyataannya, dengan aturan yang berlaku tanggal 1 April 2019 ini nyaris tidak ada maskapai yang menerapkan tarif batas bawah sehingga harga tiket pesawat masih tergolong mahal (https://www.cncbindonesia.com).
Disusul upaya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang meminta maskapai menurunkan harga tiket pesawat penerbangan berbiaya hemat (low cost carrier/LCC) paling lambat tanggal 1Juli 2019. Namun pada kenyataannya, penurunan harga tiket ternyata tidak berlaku secara menyeluruh. Harga tiket yang turun hanya tersedia di jam dan rute tertentu, seperti penerbangan yang berada bukan di jam sibuk (detikfinance.com).
Alih-alih memberikan solusi, namun pada kenyataanya pemerintah nampak berlepas tangan dalam penyelesaian kisruh mahalnya tiket pesawat. Bahkan pemerintah terkesan membiarkan situasi ini untuk kemudian membuka celah masuknya koorporasi asing dalam pengelolaan sektor layanan publik.
Sebagaimana solusi sebelumnya ketika ada kenaikan bahan pokok, pemerintah juga mewacanakan "impor" maskapai asing untuk menghadapi mahalnya tiket pesawat. Walaupun pada akhirnya pemerintah menunda wacana tersebut setelah melihat respon masyarakat. Namun bila melihat jurus pamungkas pemerintah menghadapi kenaikan bahan pokok, bisa jadi masuknya maskapai asing ke negeri ini akan menjadi kenyataan.
Harusnya pemerintah mencari akar permasalahan dari naiknya harga tiket pesawat ini bukan malah memberi peluang bagi maskapai asing untuk hadir di negeri ini.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini menyimpulkan kenaikan harga tiket disebabkan oleh praktek kartel yang kembali muncul akibat longgarnya pengawasan pemerintah dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sehingga solusi memasukkan maskapai asing ke dalam negeri tidak akan menyelesaikan masalah (htpps://www.cnbcindonesia.com)
Pengamat penerbangan sekaligus mantan KSAU, Chappy Hakim juga berpendapat bahwa mengundang maskapai asing bukanlah merupakan solusi yang tepat bahkan dapat mengganggu kepentingan nasional terutama di sektor perhubungan udara (https://m.merdeka.com).
Indonesia merupakan ladang bisnis yang cukup basah bagi dunia penerbangan sebab merupakan negara kepulauan yang otomatis akan sangat bergantung pada koneksi udara. Potensi keuntungan inilah yang kemudian dilirik para kapital, termasuk oleh negara yang sudah terkooptasi dengan pandangan ekonomi kapitalis.
Karut marut yang terjadi di dunia penerbangan saat ini adalah imbas dari kesalahan paradigma yang bersumber dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi negeri ini. Karena dalam sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa transportasi baik darat, laut maupun udara sebagai bagian dari dunia bisnis atau dunia industri yang menggiurkan sehingga pengelolaan terhadap tranportasi ini akan dinilai secara materi bukan penyedia jasa layanan publik. Mengingat transportasi adalah bagian dari kebutuhan masyarakat banyak.
Ketika negara mengambil sistem kapitalis untuk mengatur rakyatnya, negara hanya akan berfungsi sebagai regulator bahkan bisa jadi bertindak sebagai perusahaan yang menjadikan sektor transportasi ini sebagai industri atau bisnis. Bila ini yang terjadi maka kehidupan rakyat akan menjadi sulit karena setiap kebutuhan yang menjadi kebutuhan dasarnya akan dinikmati dengan harga yang tidak murah.
Hal ini berbeda dengan pelayanan negara terhadap rakyatnya dalam sistem Islam. Dalam Islam, negara khilafah sebagai pengatur mengurusi urusan rakyat nya sesuai dengan syariat Islam yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan syariat, Islam mampu mengatur seluruh persoalan termasuk transportasi publik.
Dalam Islam, transportasi publik bukan termasuk jasa komersial akan tetapi sebagai hajat dasar bagi keberlangsungan aktivitas kehidupan setiap individu sehingga negara bertanggungjawab secara langsung dan menjamin akses setiap individu rakyat terhadap transportasi yang aman, nyaman serta gratis atau murah.
Terkait kebutuhan dasar publik termasuk transportasi maka tidak boleh ada penguasaan individu atau entitas bisnis tertentu apalagi asing dalam negara Khilafah. Penguasaan hanya dilakukan oleh negara khilafah untuk dikelola secara maksimal bagi kesejahteraan individu rakyat, sehingga negara menganggarkan secara mutlak apa yang dibutuhkan untuk pengadaan moda transportasi. Anggaran dapat diperoleh dari sumber daya alam yang ada.
Begitulah pelayanan negara dalam Islam, sehingga tidak akan ditemukan karut marut persoalan transportasi seperti saat ini. Karena pelayanan negara atas rakyat diarahkan langsung dari sumber aturan ilahi yang memahami betul produk ciptaanNya.
Maka sudah saatnya mengembalikan pengaturan makhluk kepada penciptanya, Allah SWT.