Oleh : Ratna Kurniawati
Dibebaskannya Neil Bantleman, Warga Negara Kanada, terpidana kasus pelecehan seksual anak yang divonis 11 tahun oleh Mahkamah Agung (MA) pada 2016 lalu karena diberi grasi oleh Presiden Joko Widodo dinilai kontraproduktif terhadap upaya perlindungan anak.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan Politik, Hukum, dan HAM menyatakan, pemberian grasi ini menghambarkan ketegasan negara yang menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi. Aktivis perlindungan anak ini mempertanyakan alasan objektif dan rasional hingga grasi itu diterbitkan oleh Presiden Jokowi. Fahira menilai Presiden harus menjelaskan kepada publik secara komprehensif kenapa terpidana kasus pelecehan seksual anak berhak mendapat grasi dan sekarang bebas. Bantleman, mantan guru JIS yang divonis bersalah karena telah melakukan pelecehan seksual kepada siswa JIS. Bantleman dihukum 11 tahun penjara di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). Bantleman bersama asistennya, Ferdinant Tjiong, serta lima petugas kebersihan di JIS divonis bersalah karena dinilai terbukti melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah murid. Pada bulan April 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis 10 tahun penjara terhadap Bantleman. Dia pun mengajukan banding dan putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, Agustus 2015.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM mengonfirmasi grasi yang telah diberikan dari Jokowi kepada Bantleman. Grasi itu diberikan pada 19 Juni lalu, tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13/G Tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019. Hukuman mantan guru JIS itu berkurang dari 11 tahun menjadi 5 tahun dan 1 bulan penjara serta denda Rp 100 juta.
Faktor Penyebab
Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, menyebutkan bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak.
1. Faktor moralitas dan rendahnya internalisasi ajaran agama serta longgarnya pengawasan di level keluarga dan masyarakat.
2. Faktor permisfitas dan abainya masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual.
3. Faktor kegagapan budaya dimana tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan destruktif lainnya ditonton, namun minim proses penyaringan pemahaman.
4. Faktor perhatian orang tua dan keluarga yang relatif longgar terhadap anaknnya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang bersifat mencegah kejahatan pelecehan seksual.
Tidak ada satupun aktivitas di dunia ini yang tidak mempunyai pengaruh, sekecil apapun aktivitas tersebut. Baik itu aktivitas taat maupun maksiat. Demikian pula tindak kriminal kekerasan dan pelecehan seksual pada anak, tidak hanya efek fisik yang di derita si kecil namun juga efek psikis jangka panjang. Hal ini bukanlah tanpa dasar, namun berdasarkan kajian terhadap fakta ilmiah yang telah dilakukan oleh banyak psikolog, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dapat menyebabkan depresi berat, kegelisahan yang berlebihan, paranoid, stress pasca trauma, merasa rendah diri, penyimpangan perilaku seksualnya hingga keinginan bunuh diri. Hal ini dipastikan hampir semuanya terjadi pada anak korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Jika hal ini tidak ditangani secara intensif, anak-anak yang menjadi korban ketika mereka beranjak dewasa, bukan tidak mungkin jika mereka menjadi pelaku kejahatan seksual. Survei juga telah membuktikan bahwa para pelaku kejahatan seksual, adalah mereka yang dulu ketika kecil merupakan korban kejahatan seksual. Sungguh sangat memprihatikan.
Bukankah anak-anak adalah aset negara? Mau dibawa kemana jika anak-anaknya mempunyai masa depan suram.
Hukum yang tidak adil
Indonesia merupakan negeri hukum, dimana hukum sangat di junjung tinggi. Namun kenyataannya hukum dan keadilah bisa di beli dengan uang. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa hukum seperti pisau bermata dua. Jika ke atas ia tumpul, jika ke bawah ia tajam. Ya inilah, hukum di negeri ini tidak terkecuali pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak.
Adapun vonis 11 tahun penjara bagi pelaku kejahatan seksual di JIS merupakan hukuman yang dirasa sangat tidak adil. Vonis dan denda yang di dapatkan pelaku tidak sebanding dengan perbuatan mereka yang merusak masa depan anak-anak dan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.
Mereka telah merusak generasi muda bangsa, masa depan anak-anak yang harusnya dibangun sejak kecil harus hancur karena perbuatannya. Anak-anak menjadi minder, depresi, paranoid, stres, dan selalu ingin bunuh diri. Akhirnya, anak-anak pun tumbuh menjadi generasi yang pasrah pada keadaan, generasi berotak porno, dan generasi bermental lemah.
Syariat Islam Menjaga Pergaulan
Secara fitrah manusia memiliki naluri seks. Keberadaannya Allah maksudkan untuk memperbanyak keturunan. Dengan naluri seks inilah keturunan Adam berkembang biak. Melestarikan keturunan dengan beragam suku bangsa. Hanya saja naluri ini tidak boleh diumbar bebas. Kalimah ijab dan kabul menjadi prasyarat halalnya pemenuhan naluri ini. Jika naluri seks diumbar tanpa batasan maka kita akan temui banyaknya penyimpangan, dari mulai seks bebas, LGBT, inses, sampai pedofil. Dampak berikutnya adalah kita akan berjumpa dengan permasalahan baru. Diantaranya banyaknya bayi yang lahir akibat hubungan haram kedua orang tuanya. Lebih tega lagi adalah bayi-bayi tak berdosa yang dibuang seperti sampah. Atau tindakan super tega lainnya adalah aborsi, menggugurkan janin yang sudah bernyawa di dalam rahim sang ibu.
Islam memiliki syariat yang mampu menjaga manusia dari penyimpangan. Dengan syariat tersebut manusia akan terjaga kehormatannya. Naluri seks akan dipenuhi hanya pada pasangan halal. Berikut ini adalah penjagaan syariat Islam terhadap pergaulan manusia.
1. Perintah menutup aurat dan menundukkan pandangan
2. Perintah menikah bagi yang sudah baligh dan mampu. Sedangkan untuk yang belum mampu Allah memerintah untuk shaum
3. Perintah untuk memisahkan tempat tidur anak
4. Larangan untuk saling melihat aurat dan tidur dalam satu selimut bagi sesama perempuan atau sesama laki-laki
5. Larangan khalwat bagi yang bukan mahrom
Penanganan kasus kejahatan seksual butuh solusi yang sistemik, menyeluruh bukan parsial yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketaqwaan individu pada masyarakat. Negara sebagai penjaga akidah umat, wajib membentengi dan melindungi masyarakat dari budaya hidup tidak Islami, seperti pornografi, penyimpangan seksual, hedonisme, liberalisme. Negara wajib menjatuhkan sanksi tegas kepada pelaku tindak kriminal.
Sistem Islam yang diterapkan akan meminimalkan seminimal mungkin faktor-faktor yang dapat memicu tidak kejahatan seksual pada anak maupun perilaku menyimpang lainnya. Namun jika masih ada yang melakukannya, maka sistem sanksi (‘uqubat) akan menjadi perisai yang akan melindungi masyarakat. Pelaku akan dijatuhi sanksi hukum yang tegas dan berat agar memberi efek jera bagi pelaku dan sebagai tindakan preventif untuk mencegah ‘penularan’ penyakit ini di masyarakat. Pedofilia akan dijatuhi hukuman mati, pun juga pelaku homoseksual. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
« مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »
“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).
Ijmak sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meskipun di antara mereka berbeda pendapat tentang cara eksekusi hukuman mati. Hal tersebut tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshon) ataupun belum pernah menikah (ghayru muhshon). Apabila kejahatan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi tetapi dalam bentuk pemerkosaan, maka harus dilihat:
1. Jika pelaku sudah menikah (muhshon) maka akan dirajam sampai meninggal.
2. Jika pelaku belum menikah (ghoiru muhshon) maka akan dijilid seratus kali.
Jika kejahatan seksual tidak sampai kondisi sodomi atau pemerkosaan, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah dan qadli.
Demikian solusi sistemik dalam memberantas kejahatan seksual yang menimpa anak-anak. Sistem rusak ini harus segera dicampakkan dan diganti dengan sistem yang lahir dari Dzat Yang Maha Benar, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Wallahu’alam bish showab.