Oleh: RM. Ummu Fathan
Belakangan, publik sedang menikmati fenomena baru bertajuk Bank Sampah. Bank sampah adalah suatu tempat yang digunakan untuk mengumpulkan sampah yang sudah dipilah-pilah. Bank sampah adalah strategi untuk membangun kepedulian masyarakat agar dapat ‘berkawan’ dengan sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari sampah. Tujuan dibangunnya bank sampah sebenarnya bukan bank sampah itu sendiri. Bank sampah adalah strategi untuk membangun kepedulian masyarakat agar dapat ‘berkawan’ dengan sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari sampah. Jadi, bank sampah tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diintegrasikan dengan gerakan 4R sehingga manfaat langsung yang dirasakan tidak hanya ekonomi, namun pembangunan lingkungan yang bersih, hijau dan sehat.
Bank sampah juga dapat dijadikan solusi untuk mencapai pemukiman yang bersih dan nyaman bagi warganya. Dengan pola ini maka warga selain menjadi disiplin dalam mengelola sampah juga mendapatkan tambahan pemasukan dari sampah-sampah yang mereka kumpulkan.
Tampaknya pemikiran seperti itu pula yang ditangkap oleh Kementerian Lingkungan Hidup. September lalu instansi pemerintah ini menargetkan membangun bank sampah di 250 kota di seluruh Indonesia. Menteri Negara Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengatakan sampah sudah menjadi ancaman yang serius, bila tidak dikelola dengan baik. Bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang sekitar 250 juta rakyat Indonesia akan hidup bersama tumpukan sampah di lingkungannya (bulelengkab.go.id, 14/01/2019?).
Namun sangat disayangkan program baik ini mendapat tantangan. Upaya meminimalisir pembuangan sampah yang tengah gencar ini tengah berhadapan dengan terkuaknya fenomena impor sampah. Seolah mengesankan, bahwa upaya masyarakat memperlakukan lingkungan hidup dengan "berkawan" sampah dimentalkan dengan berton-ton sampah impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan UN Comtrade, volume impor sampah Indonesia mencapai titik tertingginya hingga 283 ribu ton pada tahun lalu. Jumlah ini dua kali lipat dari angka impor 124 ribu ton pada 2013. Data BPS menggambarkan peningkatan impor 141 persen. Pada saat bersamaan, angka ekspor justru menurun 48 persen (sekitar 98.500 ton). Itu menandakan ada sekitar 184.700 ton sampah plastik di Indonesia, yang tidak diketahui nasibnya, di luar beban timbunan sampah plastik domestik sekitar 9 juta ton (tirto.id, 26/06/2019).
Dari laman yang sama dituliskan: "Meningkatnya jumlah sampah impor, dugaan Ecoton, karena ada penyelundupan plastik dalam impor kertas bekas tersebut. “Hal ini memungkinkan karena saat produk impor ini dibutuhkan industri, ia diperbolehkan masuk dengan kode green light,” kata Prigi."
Dugaan penyelundupan ini muncul dikarenakan selama 2014-2018, jumlah sampah impor yang dilaporkan negara eksportir selalu lebih tinggi ketimbang angka yang dilaporkan perusahaan importir. Pada 2014, angkanya mencapai 145.593 ton dari catatan pengekspor. Sementara data sampah impor: 107.423 ton. Perbedaan lebih bombastis terjadi tahun lalu. Negara eksportir mencatat 402.913 ton sampah diekspor ke Indonesia; sebaliknya, sampah yang tercatat masuk hanya 320.452 ton.
Banyaknya sampah ini sungguh memprihatinkan. Oleh karena itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah segera menghentikan impor sampah, khususnya yang berbahan plastik. Sebab, tidak semua sampah plastik yang diimpor dari luar negeri bisa didaur ulang. Malah, lebih banyak yang tidak bisa didaur ulang. Akibatnya, sampah tersebut jadi mencemari lingkungan. "Ketika tidak bisa didaur ulang, residunya itu enggak bisa diapa-apakan. Kemudian dibuang aja ke pinggir-pinggir sungai, tanah kosong, mengalirlah ke laut (katadata.co.id, 18/06/2019).
Dampak jangka panjang tentu akan ada kerusakan di darat dan di lautan dari bahan beracun dan berbahaya sampah. Persis seperti apa yang difirmankan Allah dalam surat Arruum ayat 41. Terlebih tatkala belum ada teknologi pengelolaan sampah modern lagi mutakhir yang efektif mengatasi sampah. Akibatnya nasib generasi masa depan akan terancam hidup dalam lingkungan yang tidak sehat.
Padahal tak seharusnya demikian. Lingkungan sehat bagi generasi masa depan harus diperjuangkan. Oleh masyarakat melalui bank sampah ataupun sistemik melalui kebijakan pengolahan sampah oleh negara. Termasuk perlindungan tegas negara kepada negerinya dengan menolak impor sampah. Sebagaimana yang dahulu pernah diwujudkan dimasa kejayaan Islam.
Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah-sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Tokoh-tokoh muslim ini telah mengubah konsep sistem pengelolaan sampah yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, karena di perkotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh (Lutfi Sarif Hidayat, 2011).
Pengelolaan sampah merupakan upaya preventif dalam menjaga kesehatan. Kesehatan sendiri merupakan kebutuhan sosial primer yang dijamin dalam Islam selain pendidikan dan keamanan.
Pengelolaan sampah masyarakat tak boleh bertumpu pada kesadaran dan kebiasaan masyarakat, sebab dibutuhkan infrastruktur pengelolaan sampah. Kondisi permukiman masyarakat yang heterogen, adanya pelaku industri yang menghasilkan sampah dalam jumlah banyak, dan macam-macam sampah yang berbeda penanganannya, meniscayakan peran pemerintah bertanggung jawab atas pengelolaan sampah masyarakat.
Pemerintah sebagai pelayan masyarakat memastikan keberadaan sistem dan instalasi pengelolaan sampah di lingkungan komunal di permukiman yang tidak dapat mengelola sampah secara individual, di apartemen, rumah susun dan permukiman padat misalnya. Pemerintah harus mencurahkan segala sumber daya agar sampah terkelola dengan baik. Dana dicurahkan untuk mengadakan instalasi pengelolaan sampah. Pemerintah mendorong ilmuwan menciptakan teknologi-teknologi pengelola sampah ramah lingkungan, mengadopsinya untuk diterapkan.
Dengan konsep demikian, niscaya inisiasi bank sampah peduli lingkungan akan terpacu lebih masif. Masayarakat semakin sadar dan negara semakin berwibawa melindungi warganya. Semua akan bisa seandainya apa yang dipraktikkan di masa Islam tersebut diadopsi kembali.