Oleh : Aisyah Al - Insyirah
Belum lama terdengar berita dan kita liat bersama bencana banjir bandang yang begitu memicu perhatian publik. Terletak di Kecamatan Asera Konawe Utara Sulawesi tenggara sejak 2 Juni 2019. Kerugian Banjir di Konawe Sultra Capai miliaran rupiah. Banyak rumah penduduk yang terkena dampak banjir, tetapi tidak ada korban jiwa. Kerugian terbesar pada kerusakan infrastruktur seperti jembatan, jalan, dan jaringan listrik yang berkisar kerugian sampai ratusan miliar rupiah.
Bencana banjir yang terjadi mengakibatkan empat jembatan hanyut, dan empat jembatan tidak bisa diakses, bahkan jembatan yang menghubungkan Sultra dengan Sulawesi Tengah (Sulteng) sempat terputus. Menuurut BNPB Total 5.847 KK Terdampak Banjir. perumahan dan permukiman penduduk kerugian mencapai Rp66,4 miliar. Ada 370 unit rumah penduduk yang hanyut dan 1.962 unit terendam air.
Ada kebijakan pemerintah yang diduga menjadi pemicu munculnya banjir. Yakni terkait penutupan hutan sebesar 8,8 persen untuk perusahaan tambang dan perkebunan sawit,” ungkap Saharuddin, Direktur Walhi Sultra saat dihubungi, kemarin (sumber : http://kendaripos.co.id/2019/06/aktivitas-tambang-diduga-picu-terjadi-banjir-pemerintah-diminta-cari-solusi-jangka-panjang/).
Inilah terliat sudah bobroknya paradigma pembangunan di tangan rezim neolib kapitalistik yang selalu berujung bencana sistemik. Banjir bandang yang terjadi tidak hanya semata mata dari alam yang tidak punya sebab. Tapi banjir ini ada sebab maka akan terjadi akibat. Begitulah sistem aturan yang lalai yang membuat manusia bukan sang pencipta alam ini yang terjadi bila di pakai dalam negara. sistem kapitalistik ini yang membuat bencana terjadi.
Berbeda dengan pembangunan dalam sistem islam yg bervisi menebar kerahmatan bagi seluruh alam. Kebijakan mendasar dalam Negara Khilafah terkait dengan pembangunan tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan. Negara Khilafah yang pasti akan membuang jauh-jauh sistem yang digunakan sekarang. Sebagai gantinya, Negara Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam secara utuh dan murni. Ini menyangkut kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’]. Tidak hanya itu, Negara Khilafah juga memastikan berjalannya politik ekonomi [siyasah iqtishadiyyah] dengan benar.
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Negara Khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.
Berbicara terkait judul yang di tulis yakni penyebab terjadinya banjir di sulawesi tenggara tidak lepas dari pengaruh peran negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Banjir Sultra berawal dari adanya penggusuran lahan. penggusuran mempunyai konotasi menghilangkan bangunan atau apa saja yang berdiri di atas tanah untuk dikosongkan, atau dikembalikan pada peruntukannya. Penggusuran biasanya dilakukan dengan paksa, karena para pihak yang menduduki atau menggunakan tanah tersebut tidak bersedia mengosongkan, atau mengembalikan status tanah sesuai dengan peruntukannya. Eksekutornya tentu adalah negara, dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Penggusuran yang dilakukan oleh negara, bisa karena dua faktor: Pertama, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan asal.Kedua, perluasan lahan untuk kemaslahatan umum atau negara.
Dalam konteks yang pertama, bisa terjadi karena konversi lahan. Hutan digunduli dijadikan permukiman. Daerah resapan air dan hutan lindung dialihfungsikan sebagai bangunan. Daerah aliran air dan sekitarnya, seperti bantaran kali, digunakan sebagai tempat tinggal. Pantai direklamasi untuk bangunan, dan sebagainya. Ini semua merupakan faktor pertama, pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Secara umum, lahan-lahan tersebut termasuk hak milik umum, yang tidak boleh diprivatisasi untuk kepentingan individu. Secara fungsional, lahan-lahan tersebut juga mempunyai fungsi alami, baik sebagai resapan air, aliran air, maupun yang lain. Karena itu, pemanfaatan lahan umum untuk kepentingan pribadi jelas menyalahi hukum syara’, baik ada atau tidak adanya izin dari penguasa. Selain itu, ini bisa merusak ekologi, yang bisa berdampak pada terjadinya banjir, dan berkurangnya debit air tanah.
Dalam kondisi seperti ini, tugas negara dan penguasanya adalah memastikan tidak adanya pelanggaran, baik yang dilakukan individu maupun penguasa. Karena itu, tugas negara dan penguasa adalah melakukan penertiban, dengan mengembalikan lahan-lahan tersebut sesuai dengan ketentuan dan peruntukannya. Siapapun yang melakukan pelanggaran, baik individu rakyat maupun pejabat negara, harus ditindak.
Tindakan yang dilakukan oleh negara, tentu bisa dilakukan bertahap, dari level yang paling ringan hingga paling puncak, yaitu menghilangkan dengan paksa. Antara lain, dengan melakukan penggusuran bangunan di atasnya.
Berbeda dengan faktor yang kedua, perluasan lahan untuk kemaslahan umum. Dalam konteks ini, karena lahan tersebut bukan milik umum atau milik negara, sebaliknya milik pribadi, maka negara tidak bisa melakukan tindakan paksa. Nabi SAW bersabda, “La yahillu li imri’in an ya’khudza ‘asha akhihi bighairi thayyibi nafsihi.” [Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya, tanpa kerelaannya] [HR al-Baihaqi]. Larangan ini menjelaskan, bahwa tindakan paksa mengubah kepemilikan individu menjadi milik umum, atau milik negara, hukumnya haram.
Wallohu A'lam Bishowab