Banjir Sultra, Bukan Bencana Alam Biasa



Oleh W Wardani


Banjir melanda kabupaten Sultra pada bulan Juni ini. Enam kabupaten yaitu Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kota Kendari, Buton Utara, dan Bombana, terendam banjir. Konawe utara (Konut) merupakan kabupaten yang paling parah terkena dampak banjir. Banjir di kabupaten ini mengakibatkan sekitar 4000 an warga mengungsi,. Banjir juga merendam sekitar 1400 an hektar lahan pertanian, perkebunan dan perikanan.

Banjir juga telah merusak jembatan antar kabupaten dan merendam ruas jalan   di kabupaten tersebut. Kabupaten Konut ditetapkan dalam status darurat semnejak bajir melanda pada tgl 2 Juni 2019. Kerugian akibat banjir bandang  di Konut  menurut Bupati Konut yang dimuat dalam harian Kendari Pos (www.kendari pos.co.id, 21 -6-2019), ditaksir sebesar Rp. 670 milyar Itu baru kerugian yang bersifat material, sedangkan kerugian yang bersifat non material lebih banyak lagi.  


Berbagai pihak menyatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan penyebab utama banjir yang melanda Konut. Hal ini diungkapan oleh Walhi Sultra seperti yang dimuat dalam Kendari Pos. www.kendaripos.go.id  10-6-2011   yanga menyatakan bahwa ada kebijakan pemerintah yang diduga memicu banjir, yaitu perubahan tutupan lahan sebesar 8,8% untuk pertambangan dan kelapa sawit. Perlu diketahui bahwa di Konut berdasarkan data dari dinas ESDM Kab Konut, terdapat puluhan perusahaan tambang yang beroperasi, dengan area konsesi bisa  mencapai puluhan ribu hektar.


Senada dengan walhi Kepala BPBD Sultra seperti yang dikutip oleh Kumparan www.kumparan,com, tgl 10-6-2019, menyatakan bahwa alih fungsi lahan memicu banjir. Hal ini berdasarkan fakta adanya sediman lumpur, pepohonan dan akar-akaran. Menurutnya ini menunjukkan banyaknya alih fungsi lahan di daerah tangkapan air yang menjadi penyebab banjir di Sultra. Alih fungsi lahan memang sudah lama terjadi di sultra. Berdasarkan  penelitian yang dilakukan oleh Siti Marwah 2014,  telah terjadi penurunan luas hutan di DAS Konawe. Penurunan luas hutan ini  menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan.


Alih fungsi lahan hutan menjadi peruntukan lain yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan   akan mengundang bencana. Hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air seyogyanya harus dipertahankan luasannya di suatu daerah. Menurut peraturan, minimal hutan yang harus ada di suatu daerah adalah seluas 30% dari luas daerah tersebut. Hutan ini akan berfungsi meresapkan air hujan, menyimpannya ke dalam tanah dan mengalirkannya menuju sungai-sungai.


Hal yang tak kalah penting untuk mencegah banjir, yaitu menjaga daerah di sepanjang aliran sungai atau daerah bantaran sungai. Di daerah bantaran sungai yaitu sekitar 100 m di kanan kiri sungai, tidak diberbolehkan adanya bangunan. Hal ini bertujuan agar air sungai bisa mengalir dengan lancar. 


Secara kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya banjir. Seperti aturan tentang prosentasi minimal luasan hutan, peraturan tentang daerah sempadan sungai, peraturan  tata ruang. Bendungan-bendungan pun juga telah dibangun untuk mencegah terjadinya banjir. Namun masalah banjir belum bisa diatasi.


Jika secara teknik penanggulangan banjir telah diupayakan namun banjir tetap saja terjadi, maka untuk mengatasi banjir tidak lagi berkutat terhadap permasalahan teknis tetapi sudah merambah ke masalah sistemik atau   akar dari permasalahan yang dihadapi sebenarnya. Terkait dengan banjir, akar permasalahannya adalah  sistem ekonomi kapitalis dengan politik demokrasinya seperti sekarang ini. Sistem ekonomi kapitalis  mengangap sumber daya alam sebagai modal yang harus dieksploitasi sebanyak-banyaknya demi meraih keuntungan. Akibatnya terjadi kerusakan sumber daya alam yang tidak terkira.  


Dalam sistem ini alih fungsi lahan hutan  sangatlah dimungkinkan. Apalagi jika dirasa konversi lahan ini mendatangkan manfaat atau keuntungan yang banyak seperti konversi menjadi tambang batu bara atau sawit. Aturan yang ada pun bisa diterjang karena dalam sistem politik demokrasi, siapa yang mempunyai modal besar, merekalah sejatinya yang berkuasa. Negara hanya berperan sebagai regulator, yang memfasilitasi para kapitalis untuk memperoleh konsesi pengelolaan tambang, hutan ataupun kebun sawit. Bahkan investor dari asing pun dipersilakan untuk ikut menikmati kekayaan sumber daya alam. Dampak alih fungsi lahan terhadap lingkungan dan rakyat, urusan belakangan. Ujungnya rakyatlah yang menuai bencana. Jelaslah bahwa sistem ekonomi kapitalis telah merusak tatanan kehidupan.


Solusi Islam

Islam sebagai suatu ideologi, mempunyai pandangan tersendiri dalam pengelolaan  sumber daya alam. Berlandaskan atas ketaqwaan terhadap Sang Pencipta, penerapan  Islam terbukti mampu mensejahterakan masyarakat  dalam waktu sekitar 1000 tahun lebih.  

Negara  dalam pandangan Islam berkewajiban mengurusi urusan rakyat dan menjamin diterapkannya hukum syara. Berkaitan dengan sumber daya alam, hutan dan sumber daya alam adalah milik umum. Dalilnya adalah Hadis Rasulullah, yang diriwayatkan oleh HR Abu Dawud dan Ahmad,  “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” Termasuk di dalamnya barang tambang yang terkandung di dalam perut bumi, hutan, sumber air dan sebagainya.  Negaralah yang mengelola sumber daya alam itu dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk membiayai pembangunan fasilitas umum. Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta apalagi asing.


Tidak seperti para kapitalis yang mengekploitasi sumber daya alam semaunya sendiri, negara dalam mengelola sumber daya alam akan memperhatikan atau daya dukung sumber daya alam tersebut. Negara akan memperhatikan keselamatan rakyatnya dalam memanfaatkan sumber daya alam. 


Negara yang dijalankan dengan sistem islam juga sangat memperhatikan distribusi penggunaan lahan. Rakyat diberi hak untuk memanfaatkan lahan sebatas kemampuannya dalam mengelola lahan tersebut. Jadi tidak ada penguasaan lahan yang berhektar-hektar oleh individu. Lahan yang tidak dikelola selama 2 tahun atau ditelantarkan oleh pemiliknya akan diambil alih oleh negara. Bagi rakyat atau petani yang tidak memiki lahan, negara akan memberikan tanah telantar tersebut, supaya dapat digarap. Dengan demikian alih fungsi lahan untuk keperluan perkebunan atau pertanian  yang dilakukan oleh rakyat yang tidak punya lahan dapat diatasi. 


Sudah saatnyalah kita ganti sistem kapitalis yang selama ini digunakan dalam mengelola sumber daya alam dengan sistem Islam. Sistem Islam yang diterapkan dalam segala aspek hanya bisa dilakukan jika ada institusi yang mengembannya. Untuk itu jika memang bersungguh-sungguh untuk menghentikan bencana banjir yang  berulang terjadi,  saatnya berjuang demi tegaknya institusi tersebut. 


 Penulis : Anggota Taklim Baiti Jannati, Banjarbaru



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak