(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
PT Krakatau Steel Tbk, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang konsen di sektor baja ini sedang menghadapi masalah yang besar. Emiten yang memiliki kode KRAS tersebut dikepung oleh persoalan utang dalam jumlah besar, sedangkan perseroan mengalami terus kerugian hingga tujuh tahun.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin BUMN yang harusnya dimanja pada masa Pemerintahan Jokowi yang begitu agresif membangun infrastruktur, di mana komponen besi dan baja dibutuhkan dalam jumlah besar? Sungguh tak masuk akal. Apakah memang Krakatau Steel sebagai BUMN dianaktirikan, dan pembangunan infrastruktur menggunakan baja impor asal China atau negara lain?
Gejala Krakatau Steel bermasalah sudah berlangsung selama tujuh tahun dengan membukukan rugi berkepanjangan. Sampai kuartal I-2019 total kerugian Krakatau Steel mencapai US$62,32 juta atau ekuivalen dengan Rp. 878,74 miliar (dengan kurs Rp14.100 per dolar AS). (www.law.justice.co, 22/6/2019).
Kalau kita cermati strategi pembangunan industri pemerintah dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB, pemerintah Cina dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri. Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.
Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara. Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama. Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil. Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara. Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.
Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu. Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya. Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi.
Terlebih dengan proyek OBOR yang sudah ditandatangi pemerinta beberapa waktu yang lalu. Tidak hanya Asing (Baca : Cina), tidak hanya menanamkan modalnya di negeri ini. Tetapi juga memonopoli tenaga kerja yang harus berasal dari warga negara mereka. Sementara penduduk negeri ini, banyak yang kesulitan bekerja di negeri sendiri.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan. Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri. Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi. Semua ini akibat ikutan dari ketidakmandirian negeri ini secara politik di kancah dunia.
Maka dengan apalagi kita mau menyelamatkan negeri ini, kecuali dengan menjadikan mandiri. Berdiri di kaki sendiri dengan pengaturan penuh pada sistem islam. Yang menawarkan sistem kehidupan yang solutif dan terbukti berhasil mengangkat taraf kehidupan bangsa di dunia, lebih dari 3,5 abad.
Wallhu a’lam bi ash showab.