Oleh : Irayanti
(Mahasiswi UHO)
Jung pecah, yu yang kenyang, kiasan yang berarti jika terjadi kerusuhan atau perkara tertentu akan ada orang yang mendapatkan kerugian tetapi ada keuntungan bagi yang lain. Begitulah kiasan yang tepat untuk mencerminkan perkara 29 WNI korban “pengantin pesanan” di Cina.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 29 perempuan jadi korban pengantin pesanan di Cina selama 2016-2019. Bobi Anwar Maarif selaku Sekjen SBMI mengatakan bahwa para perempuan ini dibawa ke Cina oleh mak comblang, dinikahkan dengan lelaki di Cina dengan iming-iming diberi nafkah besar. Namun, perempuan ini malah ‘dieksploitasi’ dengan bekerja di pabrik tanpa upah. (VoaIndonesia.com, 24/06/2019)
Mengenal Pengantin Pesanan
Dari berbagai laporan, SBMI menemukan para perempuan ini dipesan dengan harga 400 juta rupiah. Dari angka itu, 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan sementara sisanya kepada para perekrut lapangan (mak comblang). Sebelumnya, Kepala Subdit Kawasan 4 Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kemlu, Tony Wibawa mengatakan ada sebanyak 65 WNI yang terindikasi menjadi korban trafficking dengan modus pengantin pesanan ke negara Cina. Dimana pelaku melakukan pemalsuan terhadap dokumen biodata, Surat Nikah, Surat Keterangan Lajang, dan Surat Ijin Nikah dari orang tua yang terkadang bukan di wilayah domisili korban.
Pengantin pesanan bermakna menikahkan perempuan WNI dengan laki-laki negara Cina yang dilaksanakan di negara tersebut secara ilegal. Hal ini memiliki keterkaitan dengan kebijakan ‘satu anak’ di negeri Cina yang dimulai tahun 1970-an. Pemerintah Cina melarang warganya memiliki lebih dari satu anak dan juga tidak terlepas dari budaya patriarki yang merasa terhormat jika memiliki anak laki-laki. Akhirnya, banyak pria di negara Cina memperistri perempuan di luar negaranya. Pengantin pesanan ini merupakan modus dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Salah satu korban ‘pengantin pesanan’ Monika asal Kalimantan Barat berhasil kabur dari suaminya di Cina. Sekda Kubu Raya, Yusran Anizam menjemput langsung korban trafficking tersebut di Bandara Internasional Supadio. Yusran juga mengatakan masih banyak lagi korban trafficking di luar sana yang perlu kita usahan untuk pulang. Ia pun menambahkan agar semua pihak untuk memonitor sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti ini (TribunKubuRaya.com,05/07/2019)
Trafficking Buah dari Kapitalisme
Trafficking sering disebut juga dengan perbudakan modern. Menurut UU PTPPO No. 21/2017 trafficking adalah segala tindakan, perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atau orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebut tereksploitasi.
Pengantin pesanan terdiri dari berbagai wilayah di nusantara antara lain Kalimantan Barat, Jawa Barat dan mungkin masih banyak lagi yang tidak terungkap. Korban trafficking kebanyakan dari desa-desa atau masyarakat kurang mampu yang terbujuk iming-iming berupa materi yang tidak didapatkan di dalam negeri. Tidak mengherankan, karena sistem di negara kita kapitalisme, dimana materi dalam hal ini keuntungan materi dan kesenangan menjadi salah satu tujuan hidup masyarakat.
Selama ini pula pemerintah pusat dan daerah hanyalah berfokus pada penanganan bukan pencegahan. Sehingga kasus trafficking tidak pernah tuntas hingga ke akar. Selain itu, alasan ekonomi menjadi dalih utama dari kasus ini. Tidak adanya lapangan pekerjaan, banyaknya tenaga kerja asing, kurangnya pendidikan karena kemiskinan, menjadikan masyarakat mudah tergiur dengan tawaran pernikahan yang menjadi modus dari trafficking. Inilah buah dari sistem kapitalisme.
Solusi Pasti
Alasan ekonomi menjadi alasan kuat perempuan percaya dengan iming-iming materi secara instan. Sehingga mereka begitu mudah percaya kepada para mak comblang yang tanpa sadar menjadikannya ‘pengantin pesanan’ di Cina. Islam memiliki mekanisme yang khas agar masyarakat secara ekonomi terpenuhi tanpa perlu mengorbankan diri terkhusus seorang perempuan.
Di antara mekanisme ekonomi Islam itu antara lain mewajibkan dan memberikan dorongan spiritual serta memfasilitasi laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tanggungannya (saudari,anak perempuan, istri, orang tua). Negara sebagai pengurus dan pelayan umat memaksimalkan sumber-sumber kepemilikan umum seperti tambang, hasil laut, hutan dan lain-lain untuk kepentingan umat. Sehingga tidak ada lagi kemiskinan yang bisa menyebabkan kasus seperti trafficking ini terjadi sebab Indonesia memiliki banyak kekayaan alam. Sayangnya, kekayaan nusantara ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang-orang (para kapitalis). Mengembalikan fungsi sesungguhnya kaum perempuan, kembali kepada fitrah mereka sebagai ummu warobatul bait (ibu dan manager rumah tangganya) yang akan melahirkan para penerus peradaban. Karena ketika perempuan suatu negara itu rusak maka rusak pula sebuah negara.
Namun, berharap dalam sistem sekarang hanya berakhir kekecewaan. Maka sudah saatnya kita kembali kepada aturan sang Pencipta manusia dengan sistem Islam. Bukankah, Al Qur’an itu adalah pedoman kita.
(Al Qur’an) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (QS. Al Jasiyah : 20)
Wallahu ‘alam bish showwab