Oleh: Elis Herawati
Inu Rumah Tangga
Kekeringan di berbagai tempat di Indonesia baik di area pertanian maupun di perkotaan telah berlangsung beberapa dekade ini, semua menjadi pandangan publik yang memilukan. Masih segar di ingatan, bila musim hujan tiba, kita selalu tergopoh-gopoh dengan datangnya banjir bandang yang merendam berbagai kota di Indonesia. Pertanyaannya, ada apa dengan semua ini, mengapa banjir baru usai lalu disusul dengan kekeringan dimana-mana?
Melansir dari Sindonews, sebagian kepulauan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara harus bersiap-siap menghadapi kekeringan. Antisipasi urgen dilakukan karena kekeringan yang akan terjadi terbilang panjang dan ekstrem. Peringatan itu disampaikan Badan MeteorologiKlimatologi dan Geofisika (BMKG) berdasarkan hasil monitoring hari tanpa hujan (HTH) hingga tanggal 30 Juni 2019. Beberapa daerah di Jawa yang berpotensi mengalami kekeringan antara lain Sumedang, Gunungkidul, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Gresik, Tuban, Pasuruan, dan Pamekasan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku sudah mengantisipasi ancaman kekeringan. Kementerian PUPR misalnya telah menyiapkan sumur-sumur dan mobil tangki. Sebelumnya BNPB sudah mengingatkan pemerintah daerah untuk bersiap menghadapi cuaca ekstrem kekeringan yang berlangsung cukup panjang. “Dari hasil analisis BMKG, teridentifikasi adanya potensi kekeringan meteorologis yang tersebar di sejumlah wilayah,” ujar Deputi Bidang Klimatologi, Herizal.
Perihal banjir, kekeringan, dan lingkungan atau permasalahan sumber daya air secara umum, selama sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan diyakini oleh banyak pihak merupakan masalah yang sangat serius. Penanganan dengan metode parsial rekayasa prasarana sipil murni yang selama ini dijalankan justru banyak membawa dampak negatif dan sering menguras dana yang sangat mahal. Oleh karena itu, perlu adanya konsep baru dan pemahaman baru yang lebih relevan.
Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir, diantaranya ialah faktor iklim ekstrem, faktor penurunan daya dukung DAS (termasuk didalamnya faktor pola pembangunan sungai), faktor kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, faktor kesalahan konsep drainase, faktor kesalahan perilaku masyarakat dan pembangunan sekuler kapitalistik yang cenderung rakus dan merusak.
Kalau sudah begini, kemana masyarakat berharap solusi tuntas. Pemerintah terlihat sudah kewalahan, dan angkat tangan. Lantas, kemana umat harus mengadu?
Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini memandang bahwa alam itu sebagai sumberdaya yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan materi. Dengan paham kebebasan kepemilikan telah membuat manusia mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA). Tanpa memikirkan dampak ke depan. Baru jika ada masalah, diselesaikan secara parsial, yang tentu tak mampu menuntaskan persoalan. Belum lagi tugas negara hanya sebagai regulator dan “sedikit” turun tangan langsung.
Sungguh kita perlu penguasa dan negara yang perduli, dan tak apa menjadi pihak yang menjamin segala yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi :“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Belum lagi jika bicara kesadaran masyarakat, dalam sistem kapitalis sudah lazim publik cenderung acuh. Yang penting urusannya beres. Masyarakat yang islami akan sangat peduli karena perduli urusan umat adalah kewajiban. Semua berdoasa atas pengabaian masalah di sekitarnya. Maka mudah bagi seorang individu atau komunitas masyarakat yang bermasalah kekeringan atau kebanjiran dalam Khilafah. Mau ngadu jelas tempatnya, yaitu penguasa. Tetangga juga sangat peduli, dan saling menolong.
Apalagi dalam Islam, tidak ada yang luput sedikitpun di dunia ini tanpa adanya Syariah yang mengaturnya. Banyaknya peristiwa yang terjadi seharusnya menjadi cermin yang mengingatkan manusia atas kekeliruannya dalam mengelola sumber daya alam. Silih berganti musibah adalah wujud teguran atas dosa serta kedzaliman yang dilakukan oleh tangan- tangan manusia tak beradab. Sehingga hilir mudik petaka, baik di darat maupun di laut menjadi sanksi alam bagi manusia. Semakin banyak kerusakan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia, semakin besar dampak yang akan dirasakan oleh mereka sendiri. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Supaya Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (TQS. Ar-Rum:41).
Melalui penerapan sistem khilafahdengan penerapan syariah Islam secara menyeluruhlah, semua mampu diwujudkan. Kekeringan maupun banjir yang merupakan kodrat alam, dapat diatasi secara tuntas dengan seperangkat aturan dan dinaungi oleh negara yang tunduk pada syariat. Sehingga kemaslahatan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Allah berfirman : “ Jikalau sekiranya penduduk negeri ini beriman dan bertaqwa pastilah kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (TQS.AlA’Raf : 96).
Semoga peristiwa yang terjadi ini dapat diambil sebagai iktibar untuk segera berbenah, agar rahmat bagi semesta bisa dirasakan seluruh anak beserta keturunan kita.
Wallahu’alam Bi Shawwab.