Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$250 juta atau setara Rp3,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp14 ribu per dolar AS) untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia. (cnnindonesia, 28/6/2019).
Berdasarkan catatan Bank Dunia, sekitar 8 juta anak atau 15% dari total siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia yang mengenyam pendidikan di sekolah agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Dalam praktiknya, sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikulum nasional, dan banyak diikuti anak-anak dari keluarga termiskin di daerah pedesaan.
Pinjaman ini nantinya akan digunakan untuk melaksanakan program Realizing Education's Promise. Melalui proyek tersebut pemerintah akan membangun sistem perencanaan dan penganggaran elektronik berskala nasional untuk mendorong belanja yang lebih efisien oleh sumberdaya di bawah naungan Kemenag.
Program tersebut juga akan digunakan untuk membangun sistem hibah sekolah demi meningkatkan kinerja siswa dalam hal standar pendidikan nasional, terutama untuk sekolah dengan sumber daya terbatas.
Upaya Intervensi Pendidikan Islam?
Kita patut bertanya-tanya alasan dibalik pengucuran dana pinjaman pendidikan tersebut pasalnya terkhusus dalam bidang pendidikan yang kini justru menjadi hidangan lezat dibalik proyek peminjaman uang kepada Bank Dunia. Jika kita melihat dari satu sudut pandang saja, bahwa tindakan pinjaman Hutang ini bagaikan membuka kran untuk masuknya penjajahan asing melalui pendidikan, jelas akan mempengaruhi kualitas dari pendidikan itu sendiri maupun generasinya. Karena yang kita kenal istilah No Free Lunch, seharusnya dapat menjadi salah satu alat untuk bertindaknya pemerintah agar lebih hati-hati dalam memutuskan kebijakan.
Dalam hal ini tentu kita dapat mengatakan bahwa ini merupakan kelalaian pemerintah dalam mengurusi urusan negara, terutama hal yang paling penting yaitu pendidikan.
Seharusnya pendidikan merupakan hal utama yang diperhatikan pemerintah, karena bagaimanapun juga pendidikan merupakan suatu jalan untuk generasi penerus bangsa membangun suatu peradaban. Minimnya tanggungjawab negara dalam memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban. Dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang justru menyerahkan kepada asing dan membuka celah intervensi asing terhadap arah pendidikan terkhusus dalam pendidikan Islam di Indonesia.
Pendidikan dalam Pandangan Islam
Islam memandang pendidkan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Pendidikan termasuk pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting. Pendidikan merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Pendidikan bukan hanya sebagai kebutuhan sampingan, karena tanpa pendidikan martabat manusia tidak akan mulia. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tanpa membedakan martabat, usia maupun jenis kelamin seseorang.
Khilafah Islam wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung. Dan syara' telah menetapkan bahwa negara yang secara langsung menjamin pengaturan pemenuhan kebutuhan primer ini (Abdurrahman Al-Maliki, 2001.hal 186). Rasulullah SAW bersabda: "Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya" (HR.Bukhari dan Muslim).
Negara wajib membuka dan membangun sekolah-sekolah dasar, menengah maupun pendidikan tinggi dalam jumlah yang memadai sesuai dengan jumlah rakyat yang akan belajar, baik itu anak-anak maupun orang-orang dewasa yang buta aksara. Kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan martabat umat serta mewujudkan kemajuan material dan moral.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. (Bunga Rampai Syari'at Islam.hal 73). Negara wajib menyempurnakan sektor pendidikan melalui sistem pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Dalil yang menunjukkan bahwa pendidikan bebas biaya menjadi tanggung jawab Khilafah Islam, ialah berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW dan ijma sahabat.
Negara Khilafah wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan; jenjang pendidikan dasar (ibtidaiyah) dan jenjang pendidikan menengah (tsanawiyah).
Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma. Negara Khilafah menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik kimia serta penemuan, inovasi, dan lain-lain, sehingga di tengah-tengah umat lahir sekelompok mujtahid, penemu, dan inovator.
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara(Baitul Mal). Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu (1) pos fa'i dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara- seperti ghanimah,khumus (seperlima harta rampasan perang),jizyah dan dhariibah (pajak);(2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas,hutan,laut dan hima (milik umum yang penggunaanya yang telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan,karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS:9:60).(Zallum,1983;an-Nabhani,1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharibah (pajak)yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen,karyawan,dan lain-lain. Kedua; untuk membiayai segala macam sarana dan prasarna pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani,1990). Negara tidak boleh menggunakan pinjaman negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk pembiayaan pendidikan, hal tersebut tidak dibolehkan oleh hukum syara' . (Zallum, 2002, Sistem Keuangan dalam Daulah Islam, hal 82). Sebab pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba diharamkan oleh hukum syara', baik berasal dari seseorang maupun dari suatu negara. Sedangkan persyaratan (yang menyertai pinjaman) sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum Muslim tergadap pada keinginan negara-negara dan lembaga-lembaga donor. Oleh karena itu hal ini tidak diperbolehkan secara syar'i. Selain itu, hutang luar negeri merupakan bencana yang sangat berbahaya aas negeri-negeri Islam dan menjadi penyebab orang-orang kafir menguasai negeri-negeri kaum Muslim. Jadi, sepanjang adanya hutang ini umat berada dalam keterpurukan. Dengan demikian Khalifah tidak boleh menggunakan hutang luar negerti sebagai pos pendapatan untuk menutupi anggaran belanja, termasuk dalam pembiayaan pendidikan. Wallaahu a'lam.
Fadhliya Burhanuddin, ST
(penulis lepas)